Bila mengingat karakter Snoopy, maka akan ingat pula dengan Woodstock serta Charlie Brown. Ketiganya adalah satu paket. Charlie Brown dkk ini adalah salah satu karakter dalam komik dan kartun yang begitu populer. Karakternya muncul hampir di beraneka macam pernak-pernik karena saking tenarnya. Menyandang gelar terkenal, tidak lantas membuat saya mengenal dengan baik Charlie Brown dkk ini. Saya salah satu yang asing dengan kisahnya walau sudah familiar dengan penampakannya.
Alasan sederhana yang menjadi penyebabnya adalah tidak pernah diputarnya serial kartunnya di tv tanah air (sejauh yang saya ketahui). Komik stripnya juga termasuk hal langka yang saya temui. Jika mencoba me-rewind kembali, jauh pernah saya menonton versi movie-nya di salah satu stasiun tv. Itu pun sudah sangat lama sekali. Ingatan saya tidak mampu untuk kembali menyusun alurnya.
“The Peanuts Movie” disutradarai oleh Steve Martino dari hasil adaptasi komik strip “Peanuts” karya Charles M. Schulz. Anak dan cucu dari Charles M. Schulz, Craig & Bryan, ikut pula menggarap naskahnya. Komik strip “Peanuts” sendiri sudah dipublikasikan sejak sekitar 50 tahun yang lalu dan berakhir tepat di hari pertama tahun 2000.
Seperti komiknya, “The Peanuts Movie” berpusat tentang keseharian dari The Peanuts Gang yang terdiri dari anak-anak SD yang penuh warna dan imajinasi. Tokoh sentral di sini adalah Charlie Brown (Noah Schnapp); beserta anjing putih kecilnya, Snoopy dan burung kecil kuning, Woodstock (keduanya disuarakan oleh Bill Melendez dari hasil rekaman serial aslinya). Charlie Brown adalah anak yang pemalu, canggung, ceroboh, tidak percaya diri, dan selalu gagal. Ciri khasnya adalah kepala plontos ditambah seutas rambut di depannya. Berikut baju kuning dan garis hitam zig zag di tengahnya.
Selain Charlie, masih banyak lagi karakter-karakter pendukung yang meramaikan cerita. Ada Sally (Mariel Sheets), adik Charlie; Lucy (Hadley Belle Miller) yang merasa paling cantik; Linus (Alex Garfin), sahabat dekat Charlie; Peppermint Patty (Venus Omega Schultheis), yang suka tidur dan Marcie (Rebecca Bloom), pengikut setianya; serta masih banyak lainnya. Semua karakternya punya keunikan masing-masing sehingga menambah suasana cerita lebih semarak.
Cerita film dimulai ketika ada murid pindahan baru; the girl next door bagi Charlie. Dia adalah Little Red-Haired Girl (Francesca Angelucci Capaldi). Charlie merasakan sesuatu yang berbeda yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya sejak kemunculannya. Tapi Charlie terlalu pemalu meski sekedar berkenalan. Dengan bantuan teman-temannya, khususnya Linus dan Snoopy, Charlie memulai pendekatan. Cara yang ia gunakan adalah dengan menampilkan bakat khusus untuk menarik perhatiannya.
Suatu ketika, Charlie mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. Sebuah hal ajaib bagi seorang Charlie Brown. Seketika teman-temannya memujanya sebagai seorang jenius—kecuali Lucy. Keberuntungan memihak Charlie. Sebuah kesempatan demi mengambil hati Little Red-Haired Girl. Begitu Charlie mengetahui nilai 100-nya adalah sebuah kesalahan, ia memilih mundur. Asa pun lenyap. Namun kejujurannya adalah hal yang begitu istimewa darinya. Akankah Charlie menjadi percaya diri lalu dekat dengan Little Red-Haired Girl?
Dibuat dengan animasi modern dan lebih halus, “The Peanuts Movie” masih setia seperti dalam komik stripnya. Bagian-bagian detil seperti titik mata dan tanda ekspresi dalam komik masih kuat dipertahankan. Inilah yang membuat “The Peanuts Movie” terasa lebih spesial jika dibanding dengan “The Adventure of TinTin” (2011). Animasinya memang lebih realistis dengan motion capture, tapi “Peanuts” memiliki sesuatu yang lebih. Yakni membawa keorisinalan dan membangkitkan nostalgia bagi pengikut setia Charlie Brown dkk.
Saya memang awam dengan “Peanuts.” Tapi selesai menonton ini, saya yakin bila “Peanuts” adalah sebuah legenda nyata. Fenomenanya yang mendunia telah merasuk ke berbagai budaya populer. Saya menikmati film ini. Saya suka ceritanya yang sederhana dan mengedepankan kisah anak-anak. Di dalamnya terselip persahabatan, keluguan, hingga imajinasi menembus batas. Menyaksikan “Peanuts,” saya jadi teringat dengan “Upin & Ipin.” Keduanya memiliki premis yang sama.
“Peanuts” mungkin bukan harapan bagi mereka yang menginginkan animasi dengan tingkat komedi ekstra. “Peanuts” lebih minimalis, karena ini dibuat dengan sepenuh hati. Ini adalah film yang menggunakan pendekatan setia pada target anak-anak. Tidak keluar dari jalur itu. Karakter dewasa saja suaranya sampai diganti dengan “wah-wah,” untuk meyakinkan bahwa lingkup yang dibawa adalah anak-anak. Sungguh film yang manis.