Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Jean-Marc Vallée
Pemain: Michel Côté, Marc-André Grondin, Danielle Proulx, Émile Vallée, Pierre-Luc Brillant, Maxime Tremblay, Alex Gravel, Natasha Thompson, Johanne Lebrun, Mariloup Wolfe, Francis Ducharme, Hélène Grégoire, Michel Laperrière, Jean-Louis Roux, Mohamed Majd
Tahun Rilis: 2005
Si bapak (Michel Côté) sepertinya benar-benar mengidolakan Patsy Cline. Sampai-sampai si bapak (sepertinya) menamai kelima putra-putranya sesuai berdasarkan urutan abjad dalam lagu “Crazy” (lagunya Patsy Cline), mulai dari yang tertua Christian (Maxime Tremblay), Raymond (Pierre-Luc Brillant), Antoine (Alex Gravel), Zac (Marc-André Grondin), sampai si bungsu Yvan (Félix-Antoine Despatie). Bersama istrinya (Danielle Proulx) yang pengasih, penyayang, penyabar, dan pengertian, si bapak menghidupi keluarga “gila” tersebut.
Film ini dimulai di Natal tahun 1960, ketika si ibu melahirkan Zac. Sejak saat itu hari ulang tahun Zac selalu berbarengan dengan misa malam natal. Masing-masing kakak Zac punya keistimewaan sendiri-sendiri, si jenius Christian yang hobi baca setiap menit setiap detik, Antoine si pakar olahraga, Raymond ... ehmm ... si berandal sekaligus musuh bebuyutan Zac, dan Zac sendiri ... well ... selalu dihadiahi bapaknya peralatan musik setiap natal dengan harapan bakal sukses di bidang tersebut. Si bapak yang sangat katolik dan konservatif benar-benar memanjakan Zac saat itu. Menurut “Tupperware Lady,” Zac mempunyai dianugerahi kemampuan untuk menyembuhkan orang lain. Selain itu, Zac punya perbedaan tersendiri ketimbang ketiga kakaknya, ketika tengah seorang diri, hanya ditemani adiknya yang masih bayi, Zac suka menggunakan pakaian dan aksesoris ibunya. Suatu hari Zac ketangkap basah bapaknya tengah melakukan perbuatan tidak lazim itu. Pecah sudah harapan bapaknya. Istilah “banci” pun langsung jadi momok besar keluarga itu.
Sejak saat itu, keluarga tersebut, terutama si bapak, selalu sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan “kebancian.” Hidup di jaman ketika persoalan seputar orientasi seksual masih tabu dan ketat tidak gampang bagi Zac. Zac dihadapkan pada dilema antara kebutuhan seksualnya dan tekanan atas tuntutan bapaknya. Bapaknya sendiri tidak pernah memberi kelonggaran pada Zac seputar kejantanan putranya. Ketika ada celah untuk meluruskan si anak, si bapak langsung kegirangan. Ketika ada tendensi tentang “kebancian” si anak, si bapak langsung kalang kabut.
Situasi Zac ini semakin diperparah juga dengan kehadiran tiga kakaknya yang semuanya jauh dari kata “banci.” Antoine si pakar olahraga merupakan perwujudan uama machoisme di keluarganya. Christian si jenius, sekalipun paling tidak macho di antara ketiga kakak Zac, sudah bisa dipastikan normal karena menikahi seorang wanita tulen. Sementara Raymond si berandal malah makin memojok-mojokkan kebancian adiknya dengan ejekan-ejekan. Hanya tersisa si ibu yang selalu duduk di posisi sebagai pihak yang paling mengerti, paling perhatian, dan paling bijak.
Sekilas C.R.A.Z.Y. seperti sebuah film tentang dilema-dilemanya serang remaja gay hidup di tengah keluarga, bahkan masyarakat, yang konservatif dan cenderung homofobia. Surprisingly, film ini melangkah lebih jauh dari jalur itu. C.R.A.Z.Y. tidak melangkah ke sisi sensasional, melainkan berdiri di belakang garis film-film emosional yang menghangatkan hati. Secara teknis, hal tersebut didukung dengan gaya visual dan set artistik sempurna yang memanjakan mata. Jajaran tokoh yang ditampilkan memang stereotipe, tapi kesemuannya dipergunakan dengan efisien, hati-hati, dan sangat tepat guna. Pada akhirnya C.R.A.Z.Y. tidak hanya sekedar berhenti sebagai film gay. Tanpa perlu menghakimi C.R.A.Z.Y. sudah sampai pada area film-film bijak tentang keluarga. Tentang perbedaan-perbedaan satu sama lain dalam keuarga. Tentang mengerti dan dimengerti. Tentang dipahami dan memahami.
Pemain: Michel Côté, Marc-André Grondin, Danielle Proulx, Émile Vallée, Pierre-Luc Brillant, Maxime Tremblay, Alex Gravel, Natasha Thompson, Johanne Lebrun, Mariloup Wolfe, Francis Ducharme, Hélène Grégoire, Michel Laperrière, Jean-Louis Roux, Mohamed Majd
Tahun Rilis: 2005
Si bapak (Michel Côté) sepertinya benar-benar mengidolakan Patsy Cline. Sampai-sampai si bapak (sepertinya) menamai kelima putra-putranya sesuai berdasarkan urutan abjad dalam lagu “Crazy” (lagunya Patsy Cline), mulai dari yang tertua Christian (Maxime Tremblay), Raymond (Pierre-Luc Brillant), Antoine (Alex Gravel), Zac (Marc-André Grondin), sampai si bungsu Yvan (Félix-Antoine Despatie). Bersama istrinya (Danielle Proulx) yang pengasih, penyayang, penyabar, dan pengertian, si bapak menghidupi keluarga “gila” tersebut.
Film ini dimulai di Natal tahun 1960, ketika si ibu melahirkan Zac. Sejak saat itu hari ulang tahun Zac selalu berbarengan dengan misa malam natal. Masing-masing kakak Zac punya keistimewaan sendiri-sendiri, si jenius Christian yang hobi baca setiap menit setiap detik, Antoine si pakar olahraga, Raymond ... ehmm ... si berandal sekaligus musuh bebuyutan Zac, dan Zac sendiri ... well ... selalu dihadiahi bapaknya peralatan musik setiap natal dengan harapan bakal sukses di bidang tersebut. Si bapak yang sangat katolik dan konservatif benar-benar memanjakan Zac saat itu. Menurut “Tupperware Lady,” Zac mempunyai dianugerahi kemampuan untuk menyembuhkan orang lain. Selain itu, Zac punya perbedaan tersendiri ketimbang ketiga kakaknya, ketika tengah seorang diri, hanya ditemani adiknya yang masih bayi, Zac suka menggunakan pakaian dan aksesoris ibunya. Suatu hari Zac ketangkap basah bapaknya tengah melakukan perbuatan tidak lazim itu. Pecah sudah harapan bapaknya. Istilah “banci” pun langsung jadi momok besar keluarga itu.
Sejak saat itu, keluarga tersebut, terutama si bapak, selalu sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan “kebancian.” Hidup di jaman ketika persoalan seputar orientasi seksual masih tabu dan ketat tidak gampang bagi Zac. Zac dihadapkan pada dilema antara kebutuhan seksualnya dan tekanan atas tuntutan bapaknya. Bapaknya sendiri tidak pernah memberi kelonggaran pada Zac seputar kejantanan putranya. Ketika ada celah untuk meluruskan si anak, si bapak langsung kegirangan. Ketika ada tendensi tentang “kebancian” si anak, si bapak langsung kalang kabut.
Situasi Zac ini semakin diperparah juga dengan kehadiran tiga kakaknya yang semuanya jauh dari kata “banci.” Antoine si pakar olahraga merupakan perwujudan uama machoisme di keluarganya. Christian si jenius, sekalipun paling tidak macho di antara ketiga kakak Zac, sudah bisa dipastikan normal karena menikahi seorang wanita tulen. Sementara Raymond si berandal malah makin memojok-mojokkan kebancian adiknya dengan ejekan-ejekan. Hanya tersisa si ibu yang selalu duduk di posisi sebagai pihak yang paling mengerti, paling perhatian, dan paling bijak.
Sekilas C.R.A.Z.Y. seperti sebuah film tentang dilema-dilemanya serang remaja gay hidup di tengah keluarga, bahkan masyarakat, yang konservatif dan cenderung homofobia. Surprisingly, film ini melangkah lebih jauh dari jalur itu. C.R.A.Z.Y. tidak melangkah ke sisi sensasional, melainkan berdiri di belakang garis film-film emosional yang menghangatkan hati. Secara teknis, hal tersebut didukung dengan gaya visual dan set artistik sempurna yang memanjakan mata. Jajaran tokoh yang ditampilkan memang stereotipe, tapi kesemuannya dipergunakan dengan efisien, hati-hati, dan sangat tepat guna. Pada akhirnya C.R.A.Z.Y. tidak hanya sekedar berhenti sebagai film gay. Tanpa perlu menghakimi C.R.A.Z.Y. sudah sampai pada area film-film bijak tentang keluarga. Tentang perbedaan-perbedaan satu sama lain dalam keuarga. Tentang mengerti dan dimengerti. Tentang dipahami dan memahami.