Sinopsis Chatroom Film
Sutradara: Hideo Nakata
Pemain: Aaron Johnson, Imogen Poots, Matthew Beard, Hannah Murray, Daniel Kaluuya, Megan Dodds, Michelle Fairley, Nicholas Gleaves, Jacob Anderson, Tuppence Middleton, Ophelia Lovibond, Richard Madden, Gerald Home
Tahun Rilis: 2010
Dunia maya itu punya dua sisi. Tidak jarang juga yang mengatakan kalau dunia maya itu ibarat pisau bermata dua. Nah, film teranyar bikinan Hideo Nakata, sutradara Ringu (yang sayangnya tidak terlalu saya suka) dan Dark Water, ini bercerita tentang sisi jahanam dari dunia maya. Tenang, karena filmnya lebih berupa psychological thriller, tidak ada sadako kok kali ini.
Chatroom bercerita tentang lima orang remaja yang berjumpa, kemudian berteman, melalui sebuah fasilitas chatting – saya tidak tahu apa nama programnya, yang pasti bukan Facebook – di dunia maya. Kelima-limanya bisa dibilang remaja yang bermasalah dengan kehiduapns sehari-hari mereka. William (Aaron Johnson) adalah remaja pembantah yang sudah muak dengan kehidupannya, terutama hidup di bawah bayang-bayang kakaknya yang selalu sempurna di mata si ibu. Sudah berkali-kali William mencoba mengakhiri hidup dengan menyabet tangannya. Eva (Imogen Poots), adalah seorang gadis cantik jelita yang dari luar sepertinya nyaris sempurna, tapi sangat rapuh di dalam. Eva berambisi menjadi model, sayangnya, secantik apapun Eva, posturnya tidak memadai untuk menjadi seorang model. Eva menjadi bahan ejekkan model-model lain, yang kemudian berdampak pada krisis identitas bagi dirinya. Ada juga seorang gadis rumahan baik-baik bernama Emily (Hannah Murray) yang setiap harinya mengikuti kelas kepribadian dan mengidolakan Condoleezza Rice. Sayangnya Emily merasa tidak dicintai oleh orang tuanya, dan sangat berharap mendapatkan perhatian dari mereka. Mo (Daniel Kaluuya), seorang remaja kulit hitam pendiam, dihadapkan pada dilema jatuh cinta pada teman adiknya yang masih berusia 11 tahun. Dan terakhir ada Jim (Matthew Beard) remaja depresif yang selalu mengkonsumsi antidepresan. Jim dihantui oleh fakta bahwa dia (merasa) telah membunuh ayahnya. Kelima remaja tersebut menjadikan komunitas online mereka – yang kemudian dieksklusifkan hanya untuk mereka berlima – sebagai pelarian dari masalah-masalah dunia nyata mereka. Bahkan tempat mencari perlindungan, atau malah pelampiasan.
Ada dua hal di dalam Chatroom yang menarik perhatian saya. Pertama, visualisasi (atau simbolisme) ruang chatting yang ditampilkan sebagai kamar-kamar virutal. Hideo Nakata jelas memanfaatkan visualisasi tersebut dengan cukup maksimal. Cara yang menarik sebenarnya. Apalagi Hiedo Nakata sempat-sempat juga menyisipkan sentilan-sentilan tentang seks virual, pedofila, hode (tahu kan artinyta?), dan berbagai maca fakta negatif lain tentang tentang kehidupan dunia maya. Saya juga sangat suka juktaposisi warna antara dunia nyata dengan dunia maya. Dunia nyata ditampilkan dengan warna-warna kumuh, keruh – lifeless seperti kehidupan kelima remaja tersebut. Sementara dunia maya tempat mereka mencari kesenangan ditampilkan dengan warna-warna cerah menyala.
Poin menarik kedua adalah prilaku kelima remaja tersebut, terutama William selaku tokoh utama. William cenderung antisosial di dunia nyata. Sedikit berbicara. Dan cenderung menyimpan erat-erat permasalahannya – bahkan ibunyanya sendiri seakan-akan tidak tahu mengenai kebencian William. Di dunia maya William menjadi sosok yang ceria, bergairah, manipulatif, obsesif, dan penuh antusias. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang-orang cenderung lebih mégalomania di dunia maya – setidaknya cenderung lebih berani dan blak-blakan ketimbang di dunia nyata.
Sayangnya, hal yang bagi saya cukup fatal, Hideo Nakata melupakan urgensi di dalam Chatroom. Sebenarnya Chatroom punya potensi menjadi sebuah film yang sangat menarik, sayangnya Hideo Nakata tidak benar-benar berani menekan potensi tersebut. Bukan berarti film ini burak, atau membosankan. Hanya saja Chatroom cuma berhasil berakhir begitu saja, tanpa hal berarti. Sekalipun Hideo Nakata memberikan argumen-argumen kejutan tentang dunia maya, hal tersebut tidak diiringi dengan kejutan-kejutan berarti dari segi sinematis. Chatroom tidak cukup disturbing untuk menyampaiakan muatannya.
Chatroom tidak 100% berakhir mengecewakan. Setidaknya Hideo Nakata berhasil menampilkan nilai-nilai produksi yang cukup layak ditontonkan. Dengan muatan yang cukup terarah, film ini sendiri cukup menarik dinikmati sebagai sebuah kritik sosial atau sekedar psychological thriller. Setidaknya saya lebih suka yang ini ketimbang The Ring.