Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Rachid Bouchareb
Pemain: Jamel Debbouze, Roschdy Zem, Sami Bouajila, Bernard Blancan, Chafia Boudraa, Sabrina Seyvecou, Assaad Bouab, Thibault De Montalembert, Samir Guesmi, Jean Pierre Lorit, Ahmed Benaissa, Larbi Zekkal, Louiza Nehar, Mourad Khen, Mohamed Djouhri, Mustapha Bendou, Abdelkader Secteur
Tahun Rilis: 2010
Film ini merupakan spin off dari Indigènes.
Sutradara Rachid Bouchareb memanfaatkan sisa-sisa sumber daya yang ada pada Indigènes, film tentang perjuangan pasukan Aljazair dalam membela Perancis di Perang Dunia II, dengan cara mendaur ulang kembali menjadi sebuah kisah baru – tapi tetap pada pijakan yang sama. Jadilah Hors-la-loi. Tapi kali ini bukan film perang, sekalipun di film ini tetap saja ada medan perang, tetap saja ada dentuman-dentuman baku tembak, tetap saja ada penampakan umat manusia saling bunuh-membunuh, dan tetap saja ada mayat bergelimpangan. Yang satu ini lebih berupa drama kriminal.
Hors-la-loi berlatar kira-kira tidak lama setelah Indigènes, seusai usaha pasukan Aljazair – yang masih dibawah naungan Perancis – bahu-membahu bersama tentara Perancis demi mengusir Nazi. Baik Hors-la-loi maupun Indigènes sama-sama berbicara tentang perjuangan dan patriotisme. Bedannya, Indigènes bercerita tentang perjuangan rakyat Aljazair demi Perancis, sementara Hors-la-loi bercerita tentang perjuangan rakyat Aljazair demi memerdekakan tanah air mereka dari kolonial Perancis. Kalau Indigènes berbicara tentang patriotisme kaum Aljazair terhadap Perancis, Hors-la-loi berbicara tentang patriotisme kaum Aljazair terhadap Aljazair.
Lucunya, Hors-la-loi menggunakan tiga nama tokoh utama yang sama dengan nama tokoh utama dalam Indigènes: Saïd (Jamel Debbouze), Messaoud (Roschdy Zem), dan Abdelkader (Sami Bouajila) – masing-masing diperankan oleh aktor yang sama pula. Tapi mereka bukan Saïd, Messaoud, dan Abdelkader yang sama dengan yang berjuang mati-matian membela Perancis dalam Indigènes, karena kali ini mereka diceritakan sebagai tiga orang saudara dari pedesaan Aljazair.
Film dibuka dengan prolog ketika ketiganya masih hidup sebagai petani desa. Seorang petugas pemerintah tiba-tiba muncul memberi tahu bahwa tanah mereka yang sudah diwariskan turun-temurun sudah dimiliki oleh orang lain karena mereka tidak memiliki surat-surat kepemilikan lengkap. Sang ayah pun memberi pesan kepada tiga putranya, kelak mereka dewasa agar tidak melupakan tanah yang mereka injak sekarang.
Kemudian film meloncat beberapa tahun kemudian di sebuah adegan pembantaian para pengunjuk rasa (yang menuntut kemerdekaan Aljazair) oleh pihak otoriter kolonial Perancis. Abdelkader yang turut serta sebagai pengunjuk rasa ditangkap dan kemudian dipenjara di Perancis. Sementara Messaoud, si anak sulung, tengah berjuang sebagai tentara Perancis di Perang Indocina – Vietnam yang saat itu juga tengah di bawah naungan kolnial Perancis juga tengah menyuarakan kemerdekaan. Saïd, satu-satunya anak yang tersisa, akhirnya memutuskan untuk membawa ibunya (Chafia Boudraa) ke Perancis, ke tempat yang lebih aman.
Saïd dan ibunya tinggal di perkampungan kumuh para imigran Aljazair. Saïd berhasil mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan cukup uang, walaupun bukan pekerjaan yang direstui ibunya – berbisnis wanita malam yang kemudian berkembang menjadi klab malam. Abdelkader di penjara, karena niatnya memerdekakan Aljazair, mendapatkan koneksi pihak-pihak FLN (Front de Libération Nationale), sebauh partai sosialis Aljazair yang juga memperjuangkan kemerdekaan negara tersebut (atau bisa juga dibilang pihak resistensi). Sementara Messaoud terperangkap sebagai tahanan tentara Vietnam, yang kemudian dipulangkan dengan kekalahan – Vietnam merdeka dari kolonial Perancis – dan kehilangan sebelah mata.
Tidak lama kemudian tiga saudara ini bersatu kembali. Abdelkader langsung saja mengutarakan rencana perekrutan kaum-kaum imigran Aljazair untuk membantu pihak FLN dan penyeruakan kemerdekaan Aljazair secara diam-diam dari dalam Perancis. Messaoud, terdorong dengan usaha kemerdekaan Vietnam, setuju membantu saudaranya. Namun Saïd lebih tertarik mencari uang untuk hidup ketimbang campur tangan dengan urusan politik semacam itu.
Messaoud dan Abdelkader, tanpa bantuan Saïd, mulai melebarkan koneksi, pengaruh, dan misi mereka di Perancis secara diam-diam. Untuk urusan ini FLN tidak main-main. Ketika mereka diharuskan membunuh penghalang-penghalan revolusi, mereka akan membunuh, bahkan kaum mereka sendiri – sesuai dengan aturan FLN, kaum Aljazair yang bekerja untuk Perancis dianggap menganggu kedaulatan revolusi. Tentu saja aksi-aksi underground mereka tidak luput dari hidung polisi Perancis. FLN dicap sebagai kelompok teroris. Sekedar mengancam, memenjara, atau menghukum mati pihak-pihak FLN tidak akan serta-merta memberantas kelompok resistensi tersebut. Maka polisi Perancis diberi hak khusus oleh mahkakamah pemerintahan untuk membantai habis-habisan, bahkan dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun, pihak-pihak Aljazair yang mencurigakan. Perang antar kedua kubu itu pun dimulai, sesuai dengan judulnya – outside the law – kedua pihak ini berperang di luar batasan hukum Perancis.
Sementara kedua kakaknya berurusan dengan polisi dan revolusi, Saïd malah berusaha mengejar impian dan cita-citanya terhadap tinju. Dengan uang hasil bisnisnya, Saïd mempormosikan seorang petinju muda Aljazair yang ditemukannya di kawasan kumuh. Masalah internal antara Saïd, Messaoud, dan Abdelkader muncul ketika Saïd hendak mengikut sertakan petinjunya itu pada kejuaraan Perancis – dengan impian menjadi juara pertama Perancis yang berdarah Aljazair. FLN menganggap tindakkan Saïd ini mengancam posisi revolusi. Baik Saïd maupun petinjunya mendapat ancaman mati.
Hors-la-loi seperti La battaglia di Algeri (1966) yang dibalut dengan tuksedo-tuksedo ala The Godfather atau Goodfellas, terserah suka yang mana. Kelompok FLN di sini lebih mirip mafia ketimbang teroris, apalagi kalau gambar teroris yang ada di kepala Anda adalah teroris tipikal Bom Bali. Berita baiknya, Hors-la-loi menyajikan cerita yang lebih matang dan lebih rapi ketimbang pendahulunya, Indigènes. Kali ini pihak Ageria tidak sekedar digambarkan sebagai kaum lemah, kaum tidak berdaya, atau kaum yang ada di posisi memancing simpati. Kali ini pihak Aljazair ditampilkan lebih abu-abu.
Perbedaan lain yang juga sangat mencolok dari Hors-la-loi adalah sisi kemanusiaannya yang lebih bias ketimbang Indigènes. Film kedua Rachid Bouchareb ini lebih mirip drama tentang pembalasan – mengingat kedua kubu saling membalas tindakan mereka satu-sama-lain, ketimbang drama tentang revolusi. Yang membuat Hors-la-loi tidak sebaik La battaglia di Algeri adalah kurangnya argumen mendalam tentang revolusi itu sendiri. Permasalahan yang dihadirkan semata-mata lebih berupa taktik, pembalasan, dan kemenanga. Namun dengan teropong yang lebih mungil, Hors-la-loi berhasil menhadirkan kronik keluarga yang cukup soloid. Ah, untung juga bagian-bagian baku hantam dalam Hors-la-loi ditampilkan lebih realistik – tidak se-unbelievable ala aksi-aksi Hollywoodisme dewasa ini.
Indigènes berhasil mendapatkan tempat di kategori Best Foreign Language Oscar 2006, Hors-la-loi juga dinominasikan di kategori yang sama di tahun 2011. Konon Rachid Bouchareb sudah menyiapkan film ketiga dari kisah Aljazair ini, yang nantinya kurang lebih bercerita tentang imigrasi. Masihkah dengan Saïd, Messaoud, dan Abdelkader – walau bukan tokoh yang sama dengan dua film sebelumnya? Rasanya tidak terlalu rugi kalau saya menanti sequel tersebut.
Pemain: Jamel Debbouze, Roschdy Zem, Sami Bouajila, Bernard Blancan, Chafia Boudraa, Sabrina Seyvecou, Assaad Bouab, Thibault De Montalembert, Samir Guesmi, Jean Pierre Lorit, Ahmed Benaissa, Larbi Zekkal, Louiza Nehar, Mourad Khen, Mohamed Djouhri, Mustapha Bendou, Abdelkader Secteur
Tahun Rilis: 2010
Film ini merupakan spin off dari Indigènes.
Sutradara Rachid Bouchareb memanfaatkan sisa-sisa sumber daya yang ada pada Indigènes, film tentang perjuangan pasukan Aljazair dalam membela Perancis di Perang Dunia II, dengan cara mendaur ulang kembali menjadi sebuah kisah baru – tapi tetap pada pijakan yang sama. Jadilah Hors-la-loi. Tapi kali ini bukan film perang, sekalipun di film ini tetap saja ada medan perang, tetap saja ada dentuman-dentuman baku tembak, tetap saja ada penampakan umat manusia saling bunuh-membunuh, dan tetap saja ada mayat bergelimpangan. Yang satu ini lebih berupa drama kriminal.
Hors-la-loi berlatar kira-kira tidak lama setelah Indigènes, seusai usaha pasukan Aljazair – yang masih dibawah naungan Perancis – bahu-membahu bersama tentara Perancis demi mengusir Nazi. Baik Hors-la-loi maupun Indigènes sama-sama berbicara tentang perjuangan dan patriotisme. Bedannya, Indigènes bercerita tentang perjuangan rakyat Aljazair demi Perancis, sementara Hors-la-loi bercerita tentang perjuangan rakyat Aljazair demi memerdekakan tanah air mereka dari kolonial Perancis. Kalau Indigènes berbicara tentang patriotisme kaum Aljazair terhadap Perancis, Hors-la-loi berbicara tentang patriotisme kaum Aljazair terhadap Aljazair.
Lucunya, Hors-la-loi menggunakan tiga nama tokoh utama yang sama dengan nama tokoh utama dalam Indigènes: Saïd (Jamel Debbouze), Messaoud (Roschdy Zem), dan Abdelkader (Sami Bouajila) – masing-masing diperankan oleh aktor yang sama pula. Tapi mereka bukan Saïd, Messaoud, dan Abdelkader yang sama dengan yang berjuang mati-matian membela Perancis dalam Indigènes, karena kali ini mereka diceritakan sebagai tiga orang saudara dari pedesaan Aljazair.
Film dibuka dengan prolog ketika ketiganya masih hidup sebagai petani desa. Seorang petugas pemerintah tiba-tiba muncul memberi tahu bahwa tanah mereka yang sudah diwariskan turun-temurun sudah dimiliki oleh orang lain karena mereka tidak memiliki surat-surat kepemilikan lengkap. Sang ayah pun memberi pesan kepada tiga putranya, kelak mereka dewasa agar tidak melupakan tanah yang mereka injak sekarang.
Kemudian film meloncat beberapa tahun kemudian di sebuah adegan pembantaian para pengunjuk rasa (yang menuntut kemerdekaan Aljazair) oleh pihak otoriter kolonial Perancis. Abdelkader yang turut serta sebagai pengunjuk rasa ditangkap dan kemudian dipenjara di Perancis. Sementara Messaoud, si anak sulung, tengah berjuang sebagai tentara Perancis di Perang Indocina – Vietnam yang saat itu juga tengah di bawah naungan kolnial Perancis juga tengah menyuarakan kemerdekaan. Saïd, satu-satunya anak yang tersisa, akhirnya memutuskan untuk membawa ibunya (Chafia Boudraa) ke Perancis, ke tempat yang lebih aman.
Saïd dan ibunya tinggal di perkampungan kumuh para imigran Aljazair. Saïd berhasil mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan cukup uang, walaupun bukan pekerjaan yang direstui ibunya – berbisnis wanita malam yang kemudian berkembang menjadi klab malam. Abdelkader di penjara, karena niatnya memerdekakan Aljazair, mendapatkan koneksi pihak-pihak FLN (Front de Libération Nationale), sebauh partai sosialis Aljazair yang juga memperjuangkan kemerdekaan negara tersebut (atau bisa juga dibilang pihak resistensi). Sementara Messaoud terperangkap sebagai tahanan tentara Vietnam, yang kemudian dipulangkan dengan kekalahan – Vietnam merdeka dari kolonial Perancis – dan kehilangan sebelah mata.
Tidak lama kemudian tiga saudara ini bersatu kembali. Abdelkader langsung saja mengutarakan rencana perekrutan kaum-kaum imigran Aljazair untuk membantu pihak FLN dan penyeruakan kemerdekaan Aljazair secara diam-diam dari dalam Perancis. Messaoud, terdorong dengan usaha kemerdekaan Vietnam, setuju membantu saudaranya. Namun Saïd lebih tertarik mencari uang untuk hidup ketimbang campur tangan dengan urusan politik semacam itu.
Messaoud dan Abdelkader, tanpa bantuan Saïd, mulai melebarkan koneksi, pengaruh, dan misi mereka di Perancis secara diam-diam. Untuk urusan ini FLN tidak main-main. Ketika mereka diharuskan membunuh penghalang-penghalan revolusi, mereka akan membunuh, bahkan kaum mereka sendiri – sesuai dengan aturan FLN, kaum Aljazair yang bekerja untuk Perancis dianggap menganggu kedaulatan revolusi. Tentu saja aksi-aksi underground mereka tidak luput dari hidung polisi Perancis. FLN dicap sebagai kelompok teroris. Sekedar mengancam, memenjara, atau menghukum mati pihak-pihak FLN tidak akan serta-merta memberantas kelompok resistensi tersebut. Maka polisi Perancis diberi hak khusus oleh mahkakamah pemerintahan untuk membantai habis-habisan, bahkan dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun, pihak-pihak Aljazair yang mencurigakan. Perang antar kedua kubu itu pun dimulai, sesuai dengan judulnya – outside the law – kedua pihak ini berperang di luar batasan hukum Perancis.
Sementara kedua kakaknya berurusan dengan polisi dan revolusi, Saïd malah berusaha mengejar impian dan cita-citanya terhadap tinju. Dengan uang hasil bisnisnya, Saïd mempormosikan seorang petinju muda Aljazair yang ditemukannya di kawasan kumuh. Masalah internal antara Saïd, Messaoud, dan Abdelkader muncul ketika Saïd hendak mengikut sertakan petinjunya itu pada kejuaraan Perancis – dengan impian menjadi juara pertama Perancis yang berdarah Aljazair. FLN menganggap tindakkan Saïd ini mengancam posisi revolusi. Baik Saïd maupun petinjunya mendapat ancaman mati.
Hors-la-loi seperti La battaglia di Algeri (1966) yang dibalut dengan tuksedo-tuksedo ala The Godfather atau Goodfellas, terserah suka yang mana. Kelompok FLN di sini lebih mirip mafia ketimbang teroris, apalagi kalau gambar teroris yang ada di kepala Anda adalah teroris tipikal Bom Bali. Berita baiknya, Hors-la-loi menyajikan cerita yang lebih matang dan lebih rapi ketimbang pendahulunya, Indigènes. Kali ini pihak Ageria tidak sekedar digambarkan sebagai kaum lemah, kaum tidak berdaya, atau kaum yang ada di posisi memancing simpati. Kali ini pihak Aljazair ditampilkan lebih abu-abu.
Perbedaan lain yang juga sangat mencolok dari Hors-la-loi adalah sisi kemanusiaannya yang lebih bias ketimbang Indigènes. Film kedua Rachid Bouchareb ini lebih mirip drama tentang pembalasan – mengingat kedua kubu saling membalas tindakan mereka satu-sama-lain, ketimbang drama tentang revolusi. Yang membuat Hors-la-loi tidak sebaik La battaglia di Algeri adalah kurangnya argumen mendalam tentang revolusi itu sendiri. Permasalahan yang dihadirkan semata-mata lebih berupa taktik, pembalasan, dan kemenanga. Namun dengan teropong yang lebih mungil, Hors-la-loi berhasil menhadirkan kronik keluarga yang cukup soloid. Ah, untung juga bagian-bagian baku hantam dalam Hors-la-loi ditampilkan lebih realistik – tidak se-unbelievable ala aksi-aksi Hollywoodisme dewasa ini.
Indigènes berhasil mendapatkan tempat di kategori Best Foreign Language Oscar 2006, Hors-la-loi juga dinominasikan di kategori yang sama di tahun 2011. Konon Rachid Bouchareb sudah menyiapkan film ketiga dari kisah Aljazair ini, yang nantinya kurang lebih bercerita tentang imigrasi. Masihkah dengan Saïd, Messaoud, dan Abdelkader – walau bukan tokoh yang sama dengan dua film sebelumnya? Rasanya tidak terlalu rugi kalau saya menanti sequel tersebut.