Setengah jam pertama menonton “Mojin : The Lost Legend,” saya bertanya-bertanya. Mengapa film ini memiliki zombi tentara Jepang? Ada di dalam gua bawah tanah pula. Apa hubungannya film ini dengan film “Dead Mine” (2012)? Saya percaya keduanya tidak memiliki hubungan. Satunya di tambang bawah tanah, kalau yang ini ada di makam bawah tanah. Cukup untuk menjadi pembeda.
“Mojin” tidak lain adalah zombie wannabe. Semua villain di film ini adalah zombi. Beraneka macam zombi lebih tepatnya. Ada zombi berupa tentara Jepang masa PD II dan zombi tentara Mongol di masa lalu. Orang yang ‘tercemar’ zombi juga ikutan pula menjadi zombi. Singkatnya “Mojin” telah terpengaruh budaya populer tentang “Kiamat Zombi” seperti dalam film-film barat.
“Mojin” adalah bagian dari upaya pamer film-film Tiongkok dengan CGI berefek “Matrix.” Saya rasa, sudah beberapa tahun ini Tiongkok memang gencar memperkenalkan film-film aksi yang berbumbu CGI (lumayan) besar dengan banyak slow-mo. Di tengah banyak gempuran modern ini, masih ada juga yang tetap bertahan dengan gaya klasik lewat martial-arts. Saya paling suka yang ini.
Dari produksi desain, “Mojin” jelaslah film dengan bujet besar. Sutradara Wuershan mampu mengendalikan bujet besar (untuk perfilman Tiongkok) dengan menghidupkan seting bawah tanah yang mengagumkan. Mulai gua-gua dan tebing-tebing tinggi di dalamnya, jurang curam dengan sungai-sungai di bawahnya, serta kostum kuno yang menarik—sangat cocok untuk cosplay. Dari segi produksi desain yang over the top, film-film Tiongkok mudah dibedakan dengan film Asia Timur lainnya—seperti Jepang atau Korea misalnya.
“Mojin” bercerita tentang trio tomb raider. Disebut dengan “Mojin Xiaowei”—mereka menjarah kuburan-kuburan kuno untuk diambil emas atau perhiasannya. Tujuannya? Untuk dibagikan kepada rakyat yang kala itu kekurangan pangan akibat peperangan. Ini tidak lain adalah praktik pada era Mao Zedong dalam menjalankan revolusi dan meruntuhkan feodalisme. Saya pikir di bagian ini memang didasarkan pada sejarah Tiongkok masa itu.
“Mojin” berseting tahun 1988; ketiga trio penjarah makam itu adalah Hu Bayi (Chen Kun), Wang Kaizuan (Huang Bo), dan Shirley Yang (Shu Qi). Tapi mereka tidak ingin disebut dengan penjarah makam—alasannya telah saya kemukakan di paragraf sebelumnya. Mereka bertiga lantas pindah ke Amerika lalu terjadi masalah internal di antara mereka bertiga yang berakibat Hu Bayi keluar dari tim. Usut punya usut, Hu Bayi memiliki masa lalu buruk yang berhubungan dengan pencurian makam.
Masa lalu Hu Bayi dijelaskan pada sekuen flashback. Ketika itu tahun 1969. Hu dan Wang merasa bersalah atas kematian teman mereka, Ding Sitian (Angelababy). Rasa bersalah Hu dan Wang terus menjadi ‘hantu’ hingga bertahun-tahun kemudian. Pada sekuen awal (tahun 1988), Hu menemukan sebuah makam seorang putri yang sangat mengagetkannya. Mayat putri itu memiliki wajah sama persis dengan Ding. Ternyata, sekuen awal ini merupakan kunci yang kemudian memiliki benang merah dengan cerita selanjutnya.
Masih di tahun 1988, Wang menerima permintaan penggalian makam untuk mencari “Equinox Flower.” Hu yang awalnya menolak, akhirnya bergegas untuk ikut bersama Shirley. Semua dilakukannya demi Ding. Seorang pengusaha kaya sekaligus guru spiritual bernama Ying Caihong (Liu Xiaoqing) adalah orang yang akan membayar Mojin Xiaowei. Ya, penampilannya memang seperti guru spiritual dari sekte new world order. Ia memiliki kaki tangan gadis muda Harajuku bernama Yoko (Cherry Ngan)—versi lain dari “Go Go Yubari.”
“Mojin” lewat naskah dari Tianxi Bachang (sekaligus penulis novel sumbernya, “Ghost Blows Out the Light”) sangat lemah di bagian setup. Akibatnya, “Mojin” menjadi terasa bertele-tele dan kurang memikat atensi bagi saya sebagai penonton. Cenderung membosankan malahan. Namun satu jam pertama berjalan, “Mojin” mulai mencengkeram dengan aksi (walau minim) dan bumbu misteri serta horor. Terasa mengendur lagi saat flashback opera sabun antara Hu, Ding, dan Wang terselip di antaranya. Bagian aksi cukup seru sekaligus mencekam langsung saja buyar seketika. Kesalahan ada pada bagian di mana Wuershan kurang cakap dalam menata kronologis cerita. Jadinya campur aduk dan aneh.
“Mojin” juga terasa terlalu panjang. Ketika konflik telah selesai, “Mojin” masih banyak bicara seolah tidak ada habisnya. Atau memang perasaan saya yang bosan selama menonton? Mungkin saja. Jika dipikir lagi, memang benar “Mojin” adalah film yang hanya pamer efek dan produksi desain; minim aksi mengigit. Ceritanya juga sudah usang tentang pria-pria yang terjebak ‘hantu dari masa lalu.’