sinopsis dan review film - film terbaik

GRANDMA [2015]

Seorang nenek-nenek bergaya nyentrik marah-marah di sebuah kedai kopi. Sumpah serapah hingga umpatan mewarnai ucapannya tersebut. Ia menyumpahi betapa mahalnya biaya untuk aborsi. Kemarahannya semakin menjadi-jadi tatkala ia harus berseteru dengan pemilik kedai dan memaksanya untuk mengusir nenek tadi. Ia tidak sendiri di sana. Bersama dengan cucunya yang berusia 18 tahun lebih tepatnya. Lalu, siapa yang akan aborsi?

“Grandma” terdiri enam babak cerita. Bagian pertama menceritakan tentang hubungan antara Elle (Lily Tomlin), si nenek nyentrik yang saya ceritakan di atas dengan kekasih sejenisnya, Olivia (Judy Greer). Sekitar empat bulan ini, hubungan keduanya tengah kacau. Setelah saya telusuri sesuai berjalannya durasi, ternyata Elle masih belum bisa melupakan kekasihnya yang telah meninggal. Ya...sejenis juga.

Narasi kemudian menceritakan kedatangan Sage (Julia Garner), tidak lain adalah cucu Elle. Acara sambang nenek itu adalah upaya meminjam uang untuk biaya aborsi. Keduanya lantas mengobrol sedikit tentang masalah keuangan dan alasan Sage tidak meminta uang dari ibunya yang hidup mapan. Dari situ, saya mulai yakin bila hubungan nenek—ibu—anak ini sedang dalam kerenggangan. Saya juga percaya bila Sage jarang berkunjung ke rumah neneknya kecuali mepet.

Elle hanya punya segelintir uang. Kartu kreditnya bahkan telah dihancurkannya. Dia adalah tipikal orang yang mudah marah—tapi dalam hatinya begitu lembut. Jangan lupa, dia juga seorang penyair. Salah satu yang membuat Olivia menyukainya. 

Dilihat dari dialog-dialog renyahnya, film arahan Paul Weitz (sekaligus penulis naskah) ini adalah mumblecore. Tidak butuh waktu lama—dengan pacing cepat pula, “Grandma” kemudian menjelma menjadi road-trip. Elle lantas mengajak Sage untuk mencari uang dengan memeras kekasih yang menghamilinya sembari mencari pinjaman lainnya. Dikendarainya Dodge Royal 1955 peninggalan almarhum kekasihnya itu. Petualangan gila dan konyol antara nenek dan cucu ini pun dimulai.   

Salah satu kunci sukses “Grandma” menggaet saya adalah pada komedinya yang menggelitik. Vulgar dan kebablasan—tapi filmnya jujur. Hampir sepanjang film, dialognya banyak diisi umpatan dan makian dari Elle si nenek gaul. Tanpa melihat penampilan luarnya, mudah diyakini jika Elle adalah sosok penyayang dan peduli. Inilah salah satu alasan pula mengapa Sage lebih memilih lari pada neneknya ketimbang ibunya. 

Memang sudah tradisi dalam setiap film road-tripbiasanya menyatukan dua atau lebih hubungan yang sebelumnya sempat merenggang. Tidak bisa dielakkan, “Grandma” juga memiliki poin tersebut. Selain perbaikan hubungan, “Grandma” juga perjalanan spiritual bagi Elle sendiri terhadap teman-temannya. Siapa yang selama ini berteman dengan tulus atau tidak, bisa ia dapatkan jawabannya. 

Paul Weitz banyak memasukkan bagian-bagian yang subtil ke dalam “Grandma.” Kekacauan dalam hubungan kekeluargaan, pertemanan, hingga sosok di masa lalu dituturkan dengan halus. Apa hubungan mereka? Siapa dia? Berhasil membuat saya tidak berhenti untuk menebak-nebak. 

Apa yang diangkat ke dalam “Grandma” sebenarnya tentang mid-life crisis. Krisis yang menimpa mereka dalam usia tersebut tidak jauh-jauh berhubungan dengan kesehatan, kekasih, dan rasa kesepian. “Grandma” dengan subtilnya membawa pula masalah kesepian yang ditimpa oleh si karakter utama. Lihat bagaimana kecanggungannya yang pada akhirnya berujung pula pada kesendirian. Elle dapat dipahami bila dalam hati kecilnya merindukan penghibur di sampingnya.  

“Grandma” adalah film yang cukup ‘gila’ untuk menghantarkan konflik pada bagian drama dan romansanya. Poros dari cerita tentu saja si nenek Elle yang berhati sekeras baja. Diperankan dengan penuh passion oleh Lily Tomlin, Elle adalah nenek rock n roll yang dengan tingkah kocaknya (atau sinting?) akan membuat cucunya terus merindukannya. Luar biasanya, kegilaannya sanggup menuntun ke jalur yang benar.
Share this article :
+
Previous
Next Post »