sinopsis dan review film - film terbaik

X-MEN : APOCALYPSE [2016]

Membicarakan semesta “X-Men” tidak akan pernah jauh-jauh dari isu kesetaraan & perbedaan antar ras—mutant dan manusia. Entah itu mulai dari zamannya Hugh Jackman masih sedikit kurus di “X-Men” tahun 2000 hingga yang terbaru ini, “X-Men : Apocalypse.”

Tidak tahu mengapa konflik yang sering dibawa-bawa oleh franchise ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Saya menganggap menarik hal tersebut mungkin pula disebabkan relevannya dengan keadaan di kehidupan nyata. Bukankah isu semacam itu masih saja menjadi permasalahan antar individu hingga kelompok?

Dalam “X-Men,” perbedaan antar mutantdengan manusia menghasilkan rasa ketidakpercayaan satu sama lainnya. Sebagian besarnya menganggap ancaman bagi keberlangsungan manusia. Pernah terlintas dalam pikiran, apa yang akan terjadi jika saya hidup di semesta “X-Men?” Jika saya manusia, akankah saya merasa terancam dengan mutant? Begitu pun sebaliknya.

“X-Men : Apocalypse” kali ini memperkenalkan kepada kita sosok mutant pertama yang bernama En Sabah Nur (Oscar Isaac). Ia juga dikenal dengan sebutan “Apocalypse.” Yah, begitulah dalam dunia komik. Tiap karakter harus punya nama alias.
Bercerita soal Apocalypse, mutant satu ini telah hidup sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Bahkan di post credit scene “Days of Future Past” (2014), Apocalypse digambarkan tengah membangun Piramida seorang diri. Sebagai mutant pertama, karakternya sudah barang tentu didewakan. Kekuatannya juga amat luar biasa besar. 

Sepertinya konflik antara mutant dan manusia sendiri telah ada bersama Apocalypse sejak lama. Bisa dibuktikan bagaimana ia dikhianati oleh orang-orangnya sendiri saat proses transfer tubuh di sekuen awal. Apa latar belakang mereka hingga ingin menggulingkannya? Benarkah itu soal konflik antara mutant dan manusia? Jika benar, teror apa yang pernah Apocalypse munculkan di zaman Mesir kuno itu? 

Saya tidak berhenti memikirkan hal tersebut. Mungkinkah ini semacam hole atau saya yang terlalu berlebihan memikirkannya? Baik saya akan sudahi pembahasan akan perkenalan Apocalypse di awal film. Mari kita lanjutkan saat Apocalypse bangkit di tahun 1983.

Usai terbangun dari tidur panjang ribuan tahun, Apocalypse memulai rencananya untuk menguasai bumi. Musnahkan manusia, perbaharui sistem—sederhana. Dipilihlah anggota “Four Horsemen,” pengikut Apocalypse yang amat setia. Di tim tersebut, ada Ororo Munroe / Storm (Alexandra Shipp), Psylocke (Olivia Munn), Angel (Ben Hardy), dan Erik Lehnsherr / Magneto (Michael Fassbender).
Keempatnya jelas menjadi ancaman bagi bumi—bahkan untuk sesama mutant itu sendiri. Charles Xavier / Professor X (James McAvoy), Raven / Mystique (Jennifer Lawrence), dan Hank McCoy / Beast (Nicholas Hoult) harus bersatu untuk mengalahkan Four Horsemen. Jangan lupa Apocalypse juga. 

Bagian menariknya adalah karakter-karakter dalam X-Men yang familiar bagi kita, dimunculkan kembali dalam versi lebih muda (termasuk Storm), mereka adalah Jean Grey (Sophie Turner), Scott Summers / Cyclops (Tye Sheridan), serta pendatang baru Kurt Wagner / Nightcrawler (Kodi Smit-McPhee). Plus Peter Maximoff a.k.a. Quicksilver (Evan Peters) yang kembali muncul dengan sekuen slow-mo. Tapi sayangnya itu bukanlah hal baru meski ada penambahan durasi.

Saya oke saja bila sebagian besar dialognya banyak yang canggung. Saya juga tidak masalah bila tidak ada yang menjadi signatureuntuk seri ini. Bagian yang menjadi masalah bagi saya adalah pada sosok Apocalypse itu sendiri. Sebagai supervillainyang digelari nama “bencana,” ia justru tampil apa adanya. Ia bahkan kehilangan wibawa untuk disebut sebagai mutantterkuat. Mulai dari properti pendukung hingga ‘gaya bicara’ sekali pun, Apocalypse tidak layak disebut musuh yang mengancam. Payah!

Pimpinan musuh justru sibuk mendandani sekutunya? Oh, tidak. Ada apa dengan karakter ini? Wahai Bryan Singer (sutradara) dan Simon Kinberg (penulis naskah), apa yang telah kalian lakukan pada Apocalypse? Mengapa kalian lucuti potensi dari karakter ini? Saya baru sadar jika Apocalypse banyak menghabiskan durasi dengan lalu lalang ke sana ke mari merekrut pasukan. Tanpa kerajaan pula—oh, akhirnya punya, tapi cuma sebentar.   
Share this article :
+
Previous
Next Post »