Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: James Ivory
Pemain: Anthony Hopkins, Vanessa Redgrave, Helena Bonham Carter, Emma Thompson, James Wilby, Samuel West, Prunella Scales, Jemma Redgrave, Adrian Ross Magenty, Joseph Bennett, Susie Lindeman, Nicola Duffett, Mark Payton, Jo Kendall, Barbara Hicks, Peter Cellier, Crispin Bonham-Carter
Tahun Rilis: 1992
Diangkat dari novel Howards End karya E. M. Foster
Sutradara: James Ivory
Pemain: Anthony Hopkins, Vanessa Redgrave, Helena Bonham Carter, Emma Thompson, James Wilby, Samuel West, Prunella Scales, Jemma Redgrave, Adrian Ross Magenty, Joseph Bennett, Susie Lindeman, Nicola Duffett, Mark Payton, Jo Kendall, Barbara Hicks, Peter Cellier, Crispin Bonham-Carter
Tahun Rilis: 1992
Diangkat dari novel Howards End karya E. M. Foster
Howards End adalah sebuah rumah yang nyaman dan damai di pedesaan Inggris milik keluarga Wilcox, milik Nyonya Wilcox (Vanessa Redgrave) tepatnya. Howards End adalah tempat Mrs. Wilcox menghabiskan masa kecilnya, dan tetap menjadi favoritnya bahkan setelah menikahi Mr. Wilcox (Anthony Hopkins) – atau Henry – dan terjebak di tengah-tengah hiruk-pikuk London. Sekalipun Mr. Wilcox punya koleksi rumah mentereng.
Di hari-hari terakhirnya Mrs. Wilcox berteman akrab dengan Margaret Schlegel (Emma Thompson). Margaret dan Mrs. Wilcox sebelumnya sempat mengenal satu sama lain melalui pertunangan-gagal antara Helen Schlegel (Helena Bonham Carter), adik Margaret, dengan Paul Wilcox (Joseph Bennett), salah satu putra Mrs. Wilcox. Keduanya menjalin pertemanan mendalam wanita-wanita, menaruh simpati dan rasa saling pengartian satu sama lain – terlihat jelas melalui air muka Mrs. Wilcox. Ketika ajalnya tiba, Mrs. Wilcox mewariskan Howards End pada Margaret, tanpa sepengetahuan Margaret. Hal ini tentu dianggap konyol oleh Mr. Wilcox dan anak-anaknya. Surat warisan yang ditulis dengan pensil itu pun dibakar hangus.
Di sisi lain di sebuah acara “music and meaning,” Helen mengambil sebuah payung hitam milik seorang pemuda, Leonard Bast (Samuel West), sesuatu yang konon sudah jadi kebiasaan Helen. Leonard Bast membuntuti Helen sampai flat-nya di London. Adegan ketika Leonard membuntuti Helen terkonstruksi dengan sangat indah. Adegan yang dihasi hempasan hujan dan payung-payung ini dengan sederhana menegaskan kekontrasan sifat Helen dan Leonard. Helen adalah gadis yang impulsif tapi lalai. Sedangkan Leonard adalah pria baik tapi gampang dirugikan. Dan singkat cerita, pemuda miskin itu pun langsung berkenalan dengan kakak-beradik Schlegel.
Saya rasa akan jadi urusan yang panjang dan bertele-tele kalau saya teruskan sinopsis Howards End. Film ini mempunyai lapisan-lapisan konflik yang sangat rumit, dan kesemuanya itu dengan sangat baik dihubungkan pada Howards End, rumah yang pada akhirnya bakal jadi topik perbincangan para tokoh-tokohnya. Sederhananya saja, film ini bercerita tentang tiga keluarga dari kelas sosial yang berbeda: keluarga Wilcox mewakili kaum aristokrat kapitalis dengan pemikiran yang masih sempit, kakak-beradik Schlegel yang mewakili kaum borjuis dengan pola pandang yang lebih cerah, dan suami-istri Bast yang mewakili kaum menengah ke bawah.
Di Howards End, ketiga kaum tersebut bertabrakan, bukan hanya karena satu masalah, tapi karena berbagai masalah yang muncul berlapis-lapis. Ada kekontrasaan yang terlihat jelas antara keluarga Wilcox dan keluarga Schlegel dalam menangani situasi mereka, juga keluarga Bast yang diposisikan sebagai kaum paling lemah.
Tiga bersaudara Schlegel, Margaret, Helen, dan Tibby (Adrian Ross Magenty), merupakan perwujudan kaum-kaum berbudaya yang tertarik pada seni dan pengetahuan, dan tentunya sudah berpikiran luas. Tibby merasa bangga dengan pendidikan sarjananya, sementara Charles Wilcox (James Wilby) malah menyepelekan pendidikan Tibby. Keluarga Wilcox merupakan tipikal keluarga-keluarga aristokrat kolot. Mrs. Wilcox bukanlah sosok feminis, dari pernyataannya bisa dilihat bahwa masih memegang teguh kode gender kuno dimana wanita dan pria punya tugas mereka sendiri-sendiri. Mr. Wilcox malah masih memegang teguh konsep kasta sosial. Anak-anak dari pasangan Wilcox malah lebih berpikiran sempit lagi.
Namun apakah Howards End merupakan film tentang kaum borjuis yang mengasihani keluarga Bast, sementara kaum kapitalis malah acuh-tak-acuh? Saya rasa tidak. Howards End hanyalah film tentang manusia. Dan sepertinya James Ivory menyadari itulah pesona dan kekuatan utama novel karangan E. M. Foster tersebut. Dengan keyakinan itu, James Ivory berlama-lama dengan durasi film. Howards End tidak langsung menyergap para penontonnya dengan konflik, tapi malah membuat penontonnya bergulat lebih dalam tentang masing-masing tokoh. Dengan begitu penonton dapat turut merasakan kompleksitas masing-masing tokoh di film ini.
Urusan kompleksitas tokoh jelas tidak lepas dari ketajaman akting para pemain. Aktris mana lagi selain Emma Thompson yang bisa mampu berbicara banyak hanya dengan melebarkan mata dan menyunggingkan senyum tipis? Piala Best Actress Oscar sudah membuktikan bahwa penampilan Emma Thompson di sini sudah lebih dari mampu membuat terpana siapa saja yang menontonnya. Helena Bonham Carter – lengkap dengan cara bicaranya – juga efektif sebagai Helen, tokoh yang paling membutuhkan keeksplisitan emosi di film ini. Kebalikannya, tokoh yang diperankan Anthony Hopkins justru memerulukan keimplisitan emosional, dan beliau berhasil berbicara dengan cara tersebut. Vanessa Redgrave juga berhasil menciptakan momen-momen memorable tersendiri bagi tokohnya.
Trio James Ivory, Ismail Merchant, dan Ruth Prawer Jhabvala (penulis skenario) sudah lama malang-melintang di hiruk-pikuk dunia perfilman. Ini bukan film pertama mereka. Ini juga bukan film berlatar Edwardian pertama mereka – sebaliknya, film-film mereka memang cenderung berbau-bau seperti ini. Saya sudah cinta beberapa karya mereka, seperti A Room With a View dan The Remains of the Day. Tapi bagi saya pribadi, Howards End merupakan karya paling fenomenal dari Merchant-Ivory.
Di hari-hari terakhirnya Mrs. Wilcox berteman akrab dengan Margaret Schlegel (Emma Thompson). Margaret dan Mrs. Wilcox sebelumnya sempat mengenal satu sama lain melalui pertunangan-gagal antara Helen Schlegel (Helena Bonham Carter), adik Margaret, dengan Paul Wilcox (Joseph Bennett), salah satu putra Mrs. Wilcox. Keduanya menjalin pertemanan mendalam wanita-wanita, menaruh simpati dan rasa saling pengartian satu sama lain – terlihat jelas melalui air muka Mrs. Wilcox. Ketika ajalnya tiba, Mrs. Wilcox mewariskan Howards End pada Margaret, tanpa sepengetahuan Margaret. Hal ini tentu dianggap konyol oleh Mr. Wilcox dan anak-anaknya. Surat warisan yang ditulis dengan pensil itu pun dibakar hangus.
Di sisi lain di sebuah acara “music and meaning,” Helen mengambil sebuah payung hitam milik seorang pemuda, Leonard Bast (Samuel West), sesuatu yang konon sudah jadi kebiasaan Helen. Leonard Bast membuntuti Helen sampai flat-nya di London. Adegan ketika Leonard membuntuti Helen terkonstruksi dengan sangat indah. Adegan yang dihasi hempasan hujan dan payung-payung ini dengan sederhana menegaskan kekontrasan sifat Helen dan Leonard. Helen adalah gadis yang impulsif tapi lalai. Sedangkan Leonard adalah pria baik tapi gampang dirugikan. Dan singkat cerita, pemuda miskin itu pun langsung berkenalan dengan kakak-beradik Schlegel.
Saya rasa akan jadi urusan yang panjang dan bertele-tele kalau saya teruskan sinopsis Howards End. Film ini mempunyai lapisan-lapisan konflik yang sangat rumit, dan kesemuanya itu dengan sangat baik dihubungkan pada Howards End, rumah yang pada akhirnya bakal jadi topik perbincangan para tokoh-tokohnya. Sederhananya saja, film ini bercerita tentang tiga keluarga dari kelas sosial yang berbeda: keluarga Wilcox mewakili kaum aristokrat kapitalis dengan pemikiran yang masih sempit, kakak-beradik Schlegel yang mewakili kaum borjuis dengan pola pandang yang lebih cerah, dan suami-istri Bast yang mewakili kaum menengah ke bawah.
Di Howards End, ketiga kaum tersebut bertabrakan, bukan hanya karena satu masalah, tapi karena berbagai masalah yang muncul berlapis-lapis. Ada kekontrasaan yang terlihat jelas antara keluarga Wilcox dan keluarga Schlegel dalam menangani situasi mereka, juga keluarga Bast yang diposisikan sebagai kaum paling lemah.
Tiga bersaudara Schlegel, Margaret, Helen, dan Tibby (Adrian Ross Magenty), merupakan perwujudan kaum-kaum berbudaya yang tertarik pada seni dan pengetahuan, dan tentunya sudah berpikiran luas. Tibby merasa bangga dengan pendidikan sarjananya, sementara Charles Wilcox (James Wilby) malah menyepelekan pendidikan Tibby. Keluarga Wilcox merupakan tipikal keluarga-keluarga aristokrat kolot. Mrs. Wilcox bukanlah sosok feminis, dari pernyataannya bisa dilihat bahwa masih memegang teguh kode gender kuno dimana wanita dan pria punya tugas mereka sendiri-sendiri. Mr. Wilcox malah masih memegang teguh konsep kasta sosial. Anak-anak dari pasangan Wilcox malah lebih berpikiran sempit lagi.
Namun apakah Howards End merupakan film tentang kaum borjuis yang mengasihani keluarga Bast, sementara kaum kapitalis malah acuh-tak-acuh? Saya rasa tidak. Howards End hanyalah film tentang manusia. Dan sepertinya James Ivory menyadari itulah pesona dan kekuatan utama novel karangan E. M. Foster tersebut. Dengan keyakinan itu, James Ivory berlama-lama dengan durasi film. Howards End tidak langsung menyergap para penontonnya dengan konflik, tapi malah membuat penontonnya bergulat lebih dalam tentang masing-masing tokoh. Dengan begitu penonton dapat turut merasakan kompleksitas masing-masing tokoh di film ini.
Urusan kompleksitas tokoh jelas tidak lepas dari ketajaman akting para pemain. Aktris mana lagi selain Emma Thompson yang bisa mampu berbicara banyak hanya dengan melebarkan mata dan menyunggingkan senyum tipis? Piala Best Actress Oscar sudah membuktikan bahwa penampilan Emma Thompson di sini sudah lebih dari mampu membuat terpana siapa saja yang menontonnya. Helena Bonham Carter – lengkap dengan cara bicaranya – juga efektif sebagai Helen, tokoh yang paling membutuhkan keeksplisitan emosi di film ini. Kebalikannya, tokoh yang diperankan Anthony Hopkins justru memerulukan keimplisitan emosional, dan beliau berhasil berbicara dengan cara tersebut. Vanessa Redgrave juga berhasil menciptakan momen-momen memorable tersendiri bagi tokohnya.
Trio James Ivory, Ismail Merchant, dan Ruth Prawer Jhabvala (penulis skenario) sudah lama malang-melintang di hiruk-pikuk dunia perfilman. Ini bukan film pertama mereka. Ini juga bukan film berlatar Edwardian pertama mereka – sebaliknya, film-film mereka memang cenderung berbau-bau seperti ini. Saya sudah cinta beberapa karya mereka, seperti A Room With a View dan The Remains of the Day. Tapi bagi saya pribadi, Howards End merupakan karya paling fenomenal dari Merchant-Ivory.