Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Daniel Alfredson
Pemain: Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Tehilla Blad, Lena Endre, Peter Andersson, Per Oscarsson, Sofia Ledarp, Yasmine Garbi, Georgi Staykov, Annika Hallin, Tanja Lorentzon, Paolo Roberto, Johan Kylén, Magnus Krepper, Ralph Carlsson, Micke Spreitz, Anders Ahlbom
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: The Girl Who Played with Fire
Film ini diadaptasi dari novel Flickan som lekte med elden karya Stieg Larsson.
Lisbeth Salander adalah sebuah teka-teki besar trilogi ini. Di film sebelumnya, The Girl with the Dragon Tattoo, Lisbeth Salander (Noomi Rapace) unjuk gigi untuk yang pertama kalinya seputar kemampuan hackingnya dengan membantu seorang wartawan, Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), menyelesaikan sebuah kasus. Di film itu, Lisbeth Salander juga memamerkan trademarknya: sebuah tato naga besar di punggungnya. Di film pertama juga diperkenalkan sekilas latar belakang Lisbeth Salander. Ada sebuah cuplikan adegan flashback masa lalu Lisbeth di mana dia menyiram bapaknya sendiri dengan bensin lalu melempar korek api menyala ke arah pria itu hidup-hidup. Di film kedua kali ini, Lisbeth tidak hanya sekedar melempar korek api, tapi benar-benar bermain dengan api.
Lisbeth Salandar adalah sebuah teka-teki. Dia lah jiwa film pertama, mengalahkan segala macam misteri dan kasus yang ada. Selain punya tato naga besar di punggung, Lisbeth juga punya berbagai tindikan di wajah dan mungkin juga di tubuh. Dan tidak seperti kebanyakan pahlawan dalam thriller pada umumnya, Lisbeth justru bertubuh anoreksis tapi bernyali riskan. Film pertama juga diperkenalkan sekilas tentang carut-marut kehidupan Lisbeth. Salah satunya ketika Lisbeth diperkosa oleh walinya sendiri (Peter Andersson). Lisbeth membalas dengan caranya sendiri, dengan mengukir tulisan “Jag är ett sadistiskt svin och en våldtäktsman” (terjemahan bebas: “I am a sadistic pig and a rapist”) di perut si wali. Di film pertama juga bisa diketahui bahwa Lisbeth adalah wanita yang membenci para pria biadab pembenci wanita.
Kalau Lisbeth adalah teka-teki, maka tokoh utama yang satu lagi, Mikael Blomkvist, berfungsi sebagai pemecah misteri. Di film pertama, keduanya tidak hanya diposisikan sebagai mitra, tapi juga secara personal. Mikael bahkan meyakinkan Lisbeth untuk melakukan hubungan badan dengannya – dengan cara yang gentle, bukan biadab. Terlihat jelas juga bahwa Mikael menaruh simpati yang besar pada Lisbeth. Seolah-olah Mikael ingin berkata pada Lisbeth bahwa tidak semua pria itu biadab dan membenci wanita.
Dan Lisbeth Salander memang sebuah teka-teki. Hal tersebut makin dipertegas di film kedua ini. Di sini Lisbeth dituduh sebagai tersangka utama kasus pembunuhan tiga orang: walinya, seorang wartawan majalah Millenium (tempat Mikael berkerja), dan pacar wartawan itu. Mikael yakin Lisbeth tidak bersalah, dan fungsi Mikael sebagai pemecah teka-teki, baik itu seputar kasus pembunuhan ataupun seputar latar belakang Lisbeth, semakin dipertegas juga. Apalagi kasus tersebut membawa (dan mengharuskan) Lisbeth kembali pada latar masa lalunya.
Kalau di film pertamanya Lisbeth dan Mikael bekerja bersama-sama untuk memecahkan teka-teki kasus yang mereka hadapi, di sini keduanya bekerja terpisah dengan cara sendiri-sendiri. Mikael dengan mengandalkan insting jurnalistiknya. Sementara Lisbeth dengan caranya sendiri yang lebih misterius dan tidak terduga. Bahkan kedua orang itu baru berjumpa di satu layar yang sama di akhir film.
Dari segi teka-teki kasus yang dihadapi, film kedua juga sangat berbeda dengan film pertama. Kalau film pertama kasus hilangnya gadis keponakan seorang konglomerat lebih ditampikan dengan gaya detektif ala Agatha Christie (atau novel-novel detektif Inggris lainnya), kasus di film kedua ini lebih berupa suspense-straightforward. Kali ini penonton tidak diberikan deretan tokoh yang patut dicurigai, lengkap dengan motif-motifnya, seperti di film pertama, tapi langsung diarahkan pada kemungkinan-kemungkinan dan fakta-fakta yang lebih polar.
Jelas pergantian sutradara di film kedua menghasilkan suasana yang berbeda dengan film pertama. Di film pertama, suasana kelam dan mencekamnya lebih ditampilkan secara tersembunyi-tersembunyi, hati-hati, dan cenderung merayap-rayap menuju penonton. Sementara di film kedua ini malah jauh lebih gamblang dan tumpah ruah. Kalau ditanya mana yang lebih baik, saya masih lebih menyukai film yang pertama yang jauh lebih solid. Untuk urusan penampilan, Michael Nyqvist berperan dengan sangat baik sebagi tokoh pemecah teka-teki, tapi bintang utama film ini (dan trilogi ini) justru Noomi Rapace dengan penampilan luar-dalamnya. Noomi, yang nantinya bakal tampil pertama kali di film Hollywood melaui sequel Sherock Holmes, berhasil membangun karakter yang fenomena. Transformasinya menjadi Lisbeth tidak hanya dari segi fisik, gesture, atau air muka, tapi juga emosional. Noomi berhasil menciptakan sebuah karakter. Noomi berhasil membuat sebuah teka-teki.
Pemain: Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Tehilla Blad, Lena Endre, Peter Andersson, Per Oscarsson, Sofia Ledarp, Yasmine Garbi, Georgi Staykov, Annika Hallin, Tanja Lorentzon, Paolo Roberto, Johan Kylén, Magnus Krepper, Ralph Carlsson, Micke Spreitz, Anders Ahlbom
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: The Girl Who Played with Fire
Film ini diadaptasi dari novel Flickan som lekte med elden karya Stieg Larsson.
Lisbeth Salander adalah sebuah teka-teki besar trilogi ini. Di film sebelumnya, The Girl with the Dragon Tattoo, Lisbeth Salander (Noomi Rapace) unjuk gigi untuk yang pertama kalinya seputar kemampuan hackingnya dengan membantu seorang wartawan, Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), menyelesaikan sebuah kasus. Di film itu, Lisbeth Salander juga memamerkan trademarknya: sebuah tato naga besar di punggungnya. Di film pertama juga diperkenalkan sekilas latar belakang Lisbeth Salander. Ada sebuah cuplikan adegan flashback masa lalu Lisbeth di mana dia menyiram bapaknya sendiri dengan bensin lalu melempar korek api menyala ke arah pria itu hidup-hidup. Di film kedua kali ini, Lisbeth tidak hanya sekedar melempar korek api, tapi benar-benar bermain dengan api.
Lisbeth Salandar adalah sebuah teka-teki. Dia lah jiwa film pertama, mengalahkan segala macam misteri dan kasus yang ada. Selain punya tato naga besar di punggung, Lisbeth juga punya berbagai tindikan di wajah dan mungkin juga di tubuh. Dan tidak seperti kebanyakan pahlawan dalam thriller pada umumnya, Lisbeth justru bertubuh anoreksis tapi bernyali riskan. Film pertama juga diperkenalkan sekilas tentang carut-marut kehidupan Lisbeth. Salah satunya ketika Lisbeth diperkosa oleh walinya sendiri (Peter Andersson). Lisbeth membalas dengan caranya sendiri, dengan mengukir tulisan “Jag är ett sadistiskt svin och en våldtäktsman” (terjemahan bebas: “I am a sadistic pig and a rapist”) di perut si wali. Di film pertama juga bisa diketahui bahwa Lisbeth adalah wanita yang membenci para pria biadab pembenci wanita.
Kalau Lisbeth adalah teka-teki, maka tokoh utama yang satu lagi, Mikael Blomkvist, berfungsi sebagai pemecah misteri. Di film pertama, keduanya tidak hanya diposisikan sebagai mitra, tapi juga secara personal. Mikael bahkan meyakinkan Lisbeth untuk melakukan hubungan badan dengannya – dengan cara yang gentle, bukan biadab. Terlihat jelas juga bahwa Mikael menaruh simpati yang besar pada Lisbeth. Seolah-olah Mikael ingin berkata pada Lisbeth bahwa tidak semua pria itu biadab dan membenci wanita.
Dan Lisbeth Salander memang sebuah teka-teki. Hal tersebut makin dipertegas di film kedua ini. Di sini Lisbeth dituduh sebagai tersangka utama kasus pembunuhan tiga orang: walinya, seorang wartawan majalah Millenium (tempat Mikael berkerja), dan pacar wartawan itu. Mikael yakin Lisbeth tidak bersalah, dan fungsi Mikael sebagai pemecah teka-teki, baik itu seputar kasus pembunuhan ataupun seputar latar belakang Lisbeth, semakin dipertegas juga. Apalagi kasus tersebut membawa (dan mengharuskan) Lisbeth kembali pada latar masa lalunya.
Kalau di film pertamanya Lisbeth dan Mikael bekerja bersama-sama untuk memecahkan teka-teki kasus yang mereka hadapi, di sini keduanya bekerja terpisah dengan cara sendiri-sendiri. Mikael dengan mengandalkan insting jurnalistiknya. Sementara Lisbeth dengan caranya sendiri yang lebih misterius dan tidak terduga. Bahkan kedua orang itu baru berjumpa di satu layar yang sama di akhir film.
Dari segi teka-teki kasus yang dihadapi, film kedua juga sangat berbeda dengan film pertama. Kalau film pertama kasus hilangnya gadis keponakan seorang konglomerat lebih ditampikan dengan gaya detektif ala Agatha Christie (atau novel-novel detektif Inggris lainnya), kasus di film kedua ini lebih berupa suspense-straightforward. Kali ini penonton tidak diberikan deretan tokoh yang patut dicurigai, lengkap dengan motif-motifnya, seperti di film pertama, tapi langsung diarahkan pada kemungkinan-kemungkinan dan fakta-fakta yang lebih polar.
Jelas pergantian sutradara di film kedua menghasilkan suasana yang berbeda dengan film pertama. Di film pertama, suasana kelam dan mencekamnya lebih ditampilkan secara tersembunyi-tersembunyi, hati-hati, dan cenderung merayap-rayap menuju penonton. Sementara di film kedua ini malah jauh lebih gamblang dan tumpah ruah. Kalau ditanya mana yang lebih baik, saya masih lebih menyukai film yang pertama yang jauh lebih solid. Untuk urusan penampilan, Michael Nyqvist berperan dengan sangat baik sebagi tokoh pemecah teka-teki, tapi bintang utama film ini (dan trilogi ini) justru Noomi Rapace dengan penampilan luar-dalamnya. Noomi, yang nantinya bakal tampil pertama kali di film Hollywood melaui sequel Sherock Holmes, berhasil membangun karakter yang fenomena. Transformasinya menjadi Lisbeth tidak hanya dari segi fisik, gesture, atau air muka, tapi juga emosional. Noomi berhasil menciptakan sebuah karakter. Noomi berhasil membuat sebuah teka-teki.