Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Jerzy Kawalerowicz
Pemain: Jerzy Zelnik, Wieslawa Mazurkiewicz, Barbara Brylska, Krystyna Mikołajewska
Tahun Rilis: 1966
Judul Internasional: Pharaoh
Diangkat dari novel Pharaoh karya Bolesław Prus.
Pemain: Jerzy Zelnik, Wieslawa Mazurkiewicz, Barbara Brylska, Krystyna Mikołajewska
Tahun Rilis: 1966
Judul Internasional: Pharaoh
Diangkat dari novel Pharaoh karya Bolesław Prus.
Bicara tentang peradaban kuno, berarti kita harus mundur lebih jauh lagi dari jaman Ratu Elizabeth, kerajaan-kerajaan Inggris, bahkan Yesus Kristus, lalu hinggap di era Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Meditariania. Peradaban-peradabaan di masa sebelum kelharian Kristus yang sering jadi soratan industri perfilman tidak lain adalah Mesir Kuno. Sudah berapa film tentang Cleopatra? Kisah tentang Nefertiti juga tidak pernah luput dari sorotan. Atau The Ten Commandments yang melejitkan nama Yul Brynner.
Film besutan Jerzy Kawalerowicz (Mother Joan of the Angels, dll) – salah satu sutradara Polandia yang saya suka – menampilkan sebuah kisah fiksional tentang Ramses XII. Kisah Mesir Kuno yang sama sekali belum pernah ditampilkan sebelumnya. Sekalipun Bolesław Prus menyatakan tidak menitik beratkan keakuratan historikal pada kisahnya, (dari sebuah sumber yang saya dapat) film ini ternyata memiliki keakuratan historikal yang cukup kuat seputar peradaban, struktur geografis, iklim, fauna, etnik, kota, pedesaan, pertanian, perdagangan, stratifikasi sosial, agama, poltik, dan kesejahteraan – film tentang Mesir Kuno mana lagi yang mampu sejauh itu?
Film ini bercerita tentang tokoh fiksional Ramses XIII (Jerzy Zelnik, dengan penampilan sempurna tanpa perlu mengeluarkan emosi yang tumpah ruah). Beliau adalah calon Pharaoh (calon penerus tahta) Mesir Kuno. Dari segi konflik, apa yang terjadi pada Ramses XII tidak terlalu jauh berbeda dengan kisah-kisah tentang raja-ratu Inggris. Berlatar Mesir sekitar 1087–85 SM, ketika Mesir sedang dihadapkan pada berbagai macam tekanan internal dan ancaman eksternal, yang ujung-ujungnya berdampak pada jatuhnya Dinasti ke-20, berakhirnya Era Kerajaan Baru dan dimualainya Periode Menengah Ketiga Mesir. Secara historikal, Era Kerajaan Baru sebenarnya berakhir di masa pemerintahan Ramses XI yang meninggal pada 1070 BC – seperti yang saya sebut sebelumnya cerita di film ini bukan tentang keakuratan historikal.
Jangan berharap adegan perang-perangan yang membuat darah mendidih ala Gladiator atau Troy hanya karena latarnya yang terbilang kolosal, Faraon lebih berkutat seputar politik, tahta, ambisi, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Sebuah kisah yang rakus, kan? Kalau mau diambil sederhananya saja, Faraon adalah film tentang bagaimana harta dan kekuasaan bisa menggerogoti sebuah negeri.
Faraon termasuk produksi besar-besaran. Pengambilan gambar untuk adegan outdoor dilakukan di tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Mayoritas adegan massal berlatar gurun dilakukan di Uzbekistan. Konon, pengambilan gambar yang memakan waktu nyaris lima bulan itu menghabiskan sekitar 10000 botol air mineral per harinya. Sebuah kapal Mesir Kuno juga direkonstruksi berdasarkan lukisan yang sudah berumur 4000 tahun untuk kepentingan film. Ada juga adegan-adegan yang dilakukan di lokasi otentik – lokasi bersejarah di Mesir. Untuk ukuran Polandia dan jamannya, jelas Faraon bukan film berbudget sembarangan.
Dan Faraon memang tidak diproduksi sembarangan. Di awal-awal saja Kawalerowicz sudah memamerkan kemegahan. Film ini dibuka di tengah gurun pasir dengan adegan seorang tentara sedang berlari di antara barisan ratusan figuran yang rela berpanas-panasan sebagai tentara Mesir Kuno. Lalu penonton diperkenalkan dengan Ramses, putra mahkota yang masih masih muda dan ambisius. Di pembukaan ini diperlihatkan perdebatan antara Ramses dan Herhor (Piotr Pawlowski), seorang pendeta, mengenai langkah yang akan mereka ambil dalam manuver perang tersebut. Dari adegan tersebut dapat diketahu bahwa Ramses memang menyimpan ketidaksukaan terhadap Herhor dan para pendeta kuil pada umumnya. Ketika pasukannya terpaksa harus menutup kanal yang baru saja digali seorang budak, penonton diperlihatkan nurani sekaligus kenaifan Ramses muda.
Sisi-sisi ketidaksempurnaan Ramses sebagai calon pewaris tahta justru membuatnya sempurna sebagai tokoh utama. Jelas Ramses punya naitan baik bagi kelangsungan negerinya, juga rakyatnya. Ramses bahkan memerintahkan beberapa orang pasukan untuk menggali kembali kanal yang telah dirusak akibat manuver yang dilakukannya. Dan setelah mendapati fakta tentang kemelaratan rakyatnya, tumbuh ambisi untuk menyejahterakan didalam dirinya. Rasanya tidak ada yang salah dengan niatan mulia itu. Tapi Ramses bukan pahlawan dalam film-film kolosal Ridley Scott yang selalu saja mempunyai pedang dan kekuatan berlebih untuk menebas semua kezaliman, kelemahan Ramses justru karena minimnya kekuatan dan kekuasaan untuk melaksanakan ambisi tersebut.
Musah besar Ramses di sini bukan makhluk mitologi, raksasa, atau kesatria berbaju zirah, melainkan kekuasaan yang dipegang oleh para pendeta – lengkap dengan taktik-taktik licik di balik wajah bijak mereka. Ramses tahu bahwa para pendeta diam-diam menumpuk harta dengan alasan persembahan untuk Tuhan, hanya saja dia tidak mempunyai bukti yang cukup kuat. Ramses juga mendapat informasi bahwa para pendeta diam-diam bersekongkol dengan Asiria – negara yang sedang mengalami kerenggangan hubungan dengan Mesir – untuk menjatuhkan posisinya. Rasanya sudah bukan rahasia lagi kalau politik memang kejam dan cenderung mengahalalkan cara haram. Maka untuk melaksanakan semua ambisinya, Ramses harus melakukan pergulatan kekuasaan dengan para pendeta.
Jalan Ramses semakin cerah ketika ayahnya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Firaun penerus. Tapi tetap saja tidak gampang bagi Ramses untuk memperbaiki keadaan yang sudah carut-marut. Sekalipun sudah mendapatkan kekuasaan, Ramses tetap tidak mempunyai kekuatan yang cukup kuat. Apalagi ditambah dengan pemberontakan dan penkhianatan yang dilakukan oleh beberapa bawahannya. Sementara itu juga para pendeta semakin latah menggerigiti mesir dengan manipulasi-manipulasi mereka.
Satu poin lagi yang menarik, sekalipun kesejahteraan rakyat adalah salah satu keprihatinan Ramses, Kawalerowicz baru memerlihatkan kondisi rakyat yang dimaksud nyaris menjelang akhir film. Filmnya sendiri lebih memfokuskan pada hubungan Ramses dengan teman-temannya, wanita-wanitanya, orang-orang yang hendak memanfaatkannya, juga pada pergulatan politiknya dengan para pendeta. Secara tidak langsung, hal ini semakin memberi kesan kenaifan seorang Ramses. Kenaifan ini juga yang membuat Ramses muda gampang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu – bukan hanya para pendeta. Ketika tiba waktunya bagi Ramses untuk memperbaiki keadaan negerinya, hal itu seakan-akan sudah terlambat.
Walaupun menampilkan begitu banyak kemegahan, untungnya Kawalerowicz tidak terlalu terlarut dalam dramatisme. Beliau justru mengarhkan Faraon pada tone ganjil dan adegan-adegan sunyi – kadang hanya terdengan bunyi pasir. Anehnya, apa yang dilakukan Kawalerowicz justru menopang kenikmatan visual yang sudah ditampilkan. Jelas sekali kalau Faraon adalah film yang dibuat dengan sangat hati-hati. Bisa dilihat pada long take di awal-awal film atau adegan gerhana menjelang akhir film. Tidak hanya dari segi visual, Kawalerowicz juga terasa sekali berhati-hati dalam bercerita. Beliau tidak lantas terburu-buru melompatkan penonton dari satu plot ke plot yang lainnya. Sebaliknya, perlahan-lahan beliau menuntut penotonnya untuk lebih memahami situasi. Hebatnya, Kawalerowicz tidak pernah mensimplistkkan situasi.
Muatan yang dikandung juga tidak serta-merta hanya berlaku sebagai film kolosal. Konon Faraon dibuat sebagai alegori bagi kekorupan gereja-gereja Katolik. Tapi Faraon bisa saja dipandang sebagai alegori kondisi sebuah negara pada umumnya. Para pendeta korup di dalam film ini bisa diibaratkan sebagai pihak-pihak pemerintahan yang korup yang menggerogoti negara – ingat Indonesia? Sementara Ramses adalah pihak bernurani yang sayangnya tidak punya kekuatan atau kekuasaan yang cukup – adakah pihak seperti ini di Indonesia? Ketika para pendeta tersebut sudah menjilati bau uang, mereka mulai menggerogoti negara. Dan perlahan-lahan perbuatan mereka jelas menghancurkan Mesir. Tentu saya tidak perlu memberi tahu apa yang biasanya terjadi pada aparat pemerintahan ketika sudah mulai menikmati bau uang?
Rasanya poin-poin di atas sudah lebih dari cukup untuk mengikrarkan Faraon sebagai film anatopisme, juga film kolosal, yang paling menggugah sejauh yang pernah saya tonton.
Film besutan Jerzy Kawalerowicz (Mother Joan of the Angels, dll) – salah satu sutradara Polandia yang saya suka – menampilkan sebuah kisah fiksional tentang Ramses XII. Kisah Mesir Kuno yang sama sekali belum pernah ditampilkan sebelumnya. Sekalipun Bolesław Prus menyatakan tidak menitik beratkan keakuratan historikal pada kisahnya, (dari sebuah sumber yang saya dapat) film ini ternyata memiliki keakuratan historikal yang cukup kuat seputar peradaban, struktur geografis, iklim, fauna, etnik, kota, pedesaan, pertanian, perdagangan, stratifikasi sosial, agama, poltik, dan kesejahteraan – film tentang Mesir Kuno mana lagi yang mampu sejauh itu?
Film ini bercerita tentang tokoh fiksional Ramses XIII (Jerzy Zelnik, dengan penampilan sempurna tanpa perlu mengeluarkan emosi yang tumpah ruah). Beliau adalah calon Pharaoh (calon penerus tahta) Mesir Kuno. Dari segi konflik, apa yang terjadi pada Ramses XII tidak terlalu jauh berbeda dengan kisah-kisah tentang raja-ratu Inggris. Berlatar Mesir sekitar 1087–85 SM, ketika Mesir sedang dihadapkan pada berbagai macam tekanan internal dan ancaman eksternal, yang ujung-ujungnya berdampak pada jatuhnya Dinasti ke-20, berakhirnya Era Kerajaan Baru dan dimualainya Periode Menengah Ketiga Mesir. Secara historikal, Era Kerajaan Baru sebenarnya berakhir di masa pemerintahan Ramses XI yang meninggal pada 1070 BC – seperti yang saya sebut sebelumnya cerita di film ini bukan tentang keakuratan historikal.
Jangan berharap adegan perang-perangan yang membuat darah mendidih ala Gladiator atau Troy hanya karena latarnya yang terbilang kolosal, Faraon lebih berkutat seputar politik, tahta, ambisi, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Sebuah kisah yang rakus, kan? Kalau mau diambil sederhananya saja, Faraon adalah film tentang bagaimana harta dan kekuasaan bisa menggerogoti sebuah negeri.
Faraon termasuk produksi besar-besaran. Pengambilan gambar untuk adegan outdoor dilakukan di tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Mayoritas adegan massal berlatar gurun dilakukan di Uzbekistan. Konon, pengambilan gambar yang memakan waktu nyaris lima bulan itu menghabiskan sekitar 10000 botol air mineral per harinya. Sebuah kapal Mesir Kuno juga direkonstruksi berdasarkan lukisan yang sudah berumur 4000 tahun untuk kepentingan film. Ada juga adegan-adegan yang dilakukan di lokasi otentik – lokasi bersejarah di Mesir. Untuk ukuran Polandia dan jamannya, jelas Faraon bukan film berbudget sembarangan.
Dan Faraon memang tidak diproduksi sembarangan. Di awal-awal saja Kawalerowicz sudah memamerkan kemegahan. Film ini dibuka di tengah gurun pasir dengan adegan seorang tentara sedang berlari di antara barisan ratusan figuran yang rela berpanas-panasan sebagai tentara Mesir Kuno. Lalu penonton diperkenalkan dengan Ramses, putra mahkota yang masih masih muda dan ambisius. Di pembukaan ini diperlihatkan perdebatan antara Ramses dan Herhor (Piotr Pawlowski), seorang pendeta, mengenai langkah yang akan mereka ambil dalam manuver perang tersebut. Dari adegan tersebut dapat diketahu bahwa Ramses memang menyimpan ketidaksukaan terhadap Herhor dan para pendeta kuil pada umumnya. Ketika pasukannya terpaksa harus menutup kanal yang baru saja digali seorang budak, penonton diperlihatkan nurani sekaligus kenaifan Ramses muda.
Sisi-sisi ketidaksempurnaan Ramses sebagai calon pewaris tahta justru membuatnya sempurna sebagai tokoh utama. Jelas Ramses punya naitan baik bagi kelangsungan negerinya, juga rakyatnya. Ramses bahkan memerintahkan beberapa orang pasukan untuk menggali kembali kanal yang telah dirusak akibat manuver yang dilakukannya. Dan setelah mendapati fakta tentang kemelaratan rakyatnya, tumbuh ambisi untuk menyejahterakan didalam dirinya. Rasanya tidak ada yang salah dengan niatan mulia itu. Tapi Ramses bukan pahlawan dalam film-film kolosal Ridley Scott yang selalu saja mempunyai pedang dan kekuatan berlebih untuk menebas semua kezaliman, kelemahan Ramses justru karena minimnya kekuatan dan kekuasaan untuk melaksanakan ambisi tersebut.
Musah besar Ramses di sini bukan makhluk mitologi, raksasa, atau kesatria berbaju zirah, melainkan kekuasaan yang dipegang oleh para pendeta – lengkap dengan taktik-taktik licik di balik wajah bijak mereka. Ramses tahu bahwa para pendeta diam-diam menumpuk harta dengan alasan persembahan untuk Tuhan, hanya saja dia tidak mempunyai bukti yang cukup kuat. Ramses juga mendapat informasi bahwa para pendeta diam-diam bersekongkol dengan Asiria – negara yang sedang mengalami kerenggangan hubungan dengan Mesir – untuk menjatuhkan posisinya. Rasanya sudah bukan rahasia lagi kalau politik memang kejam dan cenderung mengahalalkan cara haram. Maka untuk melaksanakan semua ambisinya, Ramses harus melakukan pergulatan kekuasaan dengan para pendeta.
Jalan Ramses semakin cerah ketika ayahnya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Firaun penerus. Tapi tetap saja tidak gampang bagi Ramses untuk memperbaiki keadaan yang sudah carut-marut. Sekalipun sudah mendapatkan kekuasaan, Ramses tetap tidak mempunyai kekuatan yang cukup kuat. Apalagi ditambah dengan pemberontakan dan penkhianatan yang dilakukan oleh beberapa bawahannya. Sementara itu juga para pendeta semakin latah menggerigiti mesir dengan manipulasi-manipulasi mereka.
Satu poin lagi yang menarik, sekalipun kesejahteraan rakyat adalah salah satu keprihatinan Ramses, Kawalerowicz baru memerlihatkan kondisi rakyat yang dimaksud nyaris menjelang akhir film. Filmnya sendiri lebih memfokuskan pada hubungan Ramses dengan teman-temannya, wanita-wanitanya, orang-orang yang hendak memanfaatkannya, juga pada pergulatan politiknya dengan para pendeta. Secara tidak langsung, hal ini semakin memberi kesan kenaifan seorang Ramses. Kenaifan ini juga yang membuat Ramses muda gampang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu – bukan hanya para pendeta. Ketika tiba waktunya bagi Ramses untuk memperbaiki keadaan negerinya, hal itu seakan-akan sudah terlambat.
Walaupun menampilkan begitu banyak kemegahan, untungnya Kawalerowicz tidak terlalu terlarut dalam dramatisme. Beliau justru mengarhkan Faraon pada tone ganjil dan adegan-adegan sunyi – kadang hanya terdengan bunyi pasir. Anehnya, apa yang dilakukan Kawalerowicz justru menopang kenikmatan visual yang sudah ditampilkan. Jelas sekali kalau Faraon adalah film yang dibuat dengan sangat hati-hati. Bisa dilihat pada long take di awal-awal film atau adegan gerhana menjelang akhir film. Tidak hanya dari segi visual, Kawalerowicz juga terasa sekali berhati-hati dalam bercerita. Beliau tidak lantas terburu-buru melompatkan penonton dari satu plot ke plot yang lainnya. Sebaliknya, perlahan-lahan beliau menuntut penotonnya untuk lebih memahami situasi. Hebatnya, Kawalerowicz tidak pernah mensimplistkkan situasi.
Muatan yang dikandung juga tidak serta-merta hanya berlaku sebagai film kolosal. Konon Faraon dibuat sebagai alegori bagi kekorupan gereja-gereja Katolik. Tapi Faraon bisa saja dipandang sebagai alegori kondisi sebuah negara pada umumnya. Para pendeta korup di dalam film ini bisa diibaratkan sebagai pihak-pihak pemerintahan yang korup yang menggerogoti negara – ingat Indonesia? Sementara Ramses adalah pihak bernurani yang sayangnya tidak punya kekuatan atau kekuasaan yang cukup – adakah pihak seperti ini di Indonesia? Ketika para pendeta tersebut sudah menjilati bau uang, mereka mulai menggerogoti negara. Dan perlahan-lahan perbuatan mereka jelas menghancurkan Mesir. Tentu saya tidak perlu memberi tahu apa yang biasanya terjadi pada aparat pemerintahan ketika sudah mulai menikmati bau uang?
Rasanya poin-poin di atas sudah lebih dari cukup untuk mengikrarkan Faraon sebagai film anatopisme, juga film kolosal, yang paling menggugah sejauh yang pernah saya tonton.