sinopsis dan review film - film terbaik

ANOMALISA [2015]

Saya adalah penggemar film-film animasi. Mulai dari animasi klasik 2D, 3D, hingga stop motion. Maka sudah sewajarnya jika antusiasme saya selalu tinggi tatkala ada informasi mengenai film animasi yang akan rilis. Hal tersebut berlaku saat pertama kali saya mendengar tentang “Anomalisa” ini.

Dengan melihat tampilan dasarnya (stop motion) saja, saya sudah tidak sabar lagi untuk menonton “Anomalisa.” Bagaimana plotnya sudah tidak saya pikirkan lagi. Yang penting ini adalah film animasi, saya harus tonton. Baik atau buruk kualitasnya, itu urusan belakang.

Begitu tahu nama besar Charlie Kauffman ada di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah, saya yakinkan diri sendiri jika ini bukan film animasi biasa saja. Jelas bila “Anomalisa” tidak menyasar penonton anak-anak. Lantas, siapakah Charlie Kauffman sebenarnya? Mengapa ia bisa kuat menghipnotis saya?

“Anomalisa” adalah film kedua yang disutradarainya setelah “Synecdoche, New York” tahun 2008. Ia turut pula menulis naskah “Being John Malkovich” (1999), “Adaptation” (2002), dan “Eternal Sunshine of The Spotless Mind” (2004). Kenali terlebih dahulu film-film ini. Jika sudah pernah menontonnya, maka tahulah bagaimana gaya bertutur sang jenius ini.

Charlie Kauffman kerap menulis film dengan tema seperti “krisis identitas” atau “makna tentang kehidupan.” Gaya penggambaran ceritanya juga sering melawan arus dari film kebanyakan. Tidak jarang pula ia sering menggunakan penceritaan yang cukup surealis. Tidak ringan untuk dicerna memang, tapi amat mengasyikkan untuk diikuti.
Penggunaan stop motion dalam materi ceritanya kali ini bisa saya sebut sebagai bentuk melawan arus. Dengan konten though provoking yang merupakan ciri khasnya, ia mengubah animasi stop motionyang mainstream menjadi suguhan yang tidak biasa. 

Mari kita menuju alur ceritanya. “Anomalisa” bercerita tentang seorang ahli customer service bernama Michael Stone (David Thewlis). Diceritakan di awal ia tengah menuju hotel di Cincinnati dalam rangka promosi buku terbarunya. Selama perjalanan (begitu pula hidupnya), ia melihat semua orang memiliki wajah dan suara yang sama. Termasuk juga isteri dan anaknya. Sungguh menyedihkan saya pikir.

Michael adalah pribadi kesepian. Apa yang ia lalui selalu monoton. Apa yang ia butuhkan hanyalah sosok yang bisa sekedar diajak mengobrol dan mengerti dirinya. Namun sayang, semua orang ‘homogen’ menurut apa yang ia lihat. 

Jika kita telaah lebih mendalam, keadaan yang tengah dialami oleh Michael disebut dengan Fregoli Syndrom. Sebuah keadaan dimana manusia memiliki keyakinan delusional bahwa setiap orang sebenarnya adalah satu orang yang mengubah penampilannya saja. Kemudian Charlie Kauffman menyisipkan pesan rahasia berupa nama hotel tempat Michael menginap dengan sebutan “The Fregoli.”
Selanjutnya Anda jangan terkejut jika semua karakter selain Michael (baik pria atau wanita) bersuara pria (disuarakan oleh Tom Noonan). Tapi tunggu dulu. Selain David Thewlis dan Tom Noonan, Jennifer Jason Leigh kebagian peran sebagai gadis lugu bernama Lisa. Siapa Lisa? Mengapa hanya ia yang bersuara wanita? Mengapa ia berbeda dengan lainnya?

Bisa dikatakan jika Lisa adalah sosok yang selama ini dicari serta dirindukan oleh Michael. Ia berbeda, pemalu, dan rendah diri. Tapi justru sisi ‘keanehan’ itulah yang mampu membuat Michael terpikat padanya. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki oleh ‘orang normal’ lainnya. Sebuah kenormalan yang menurut Michael sendiri adalah bentuk dari ketidak normalan.  

Seperti pada “Being John Malkovich,” Charlie Kauffman mengeksplorasi sisi terdalam manusia berupa ketakutan dan obsesi dalam dirinya. Kemasannya juga surealis. Di dalamnya kita tahu bagaimana Craig Schwartz (John Cusack) begitu terobsesi menjadi sosok John Malkovich untuk menguasai seseorang. Pun di “Anomalisa,” Michael begitu gila untuk mendapatkan sosok sempurna yang diidamkannya.

Banyak keganjilan (anomali) dalam “Anomalisa.” Tentu saja keganjilan yang saya maksudkan di sini adalah dalam batasan positif. Charlie Kauffman berhasil menghimpun keliaran fantasinya dalam kisah sederhana tentang manusia yang dikuasai oleh rasa takut. Singkatnya, ia ingin menegaskan mengenai manusia ketika diliputi ketakutan (kesendirian, kehilangan, dll), mereka malah cenderung kehilangan rasa cinta dan kasih sayang.  
Share this article :
+
Previous
Next Post »