Film diawali dengan sekuen pembuatan korek api tradisional. Saya bersyukur, di sini bisa melihat prosesnya. Mulai dari pengupasan batang kayu, menipiskannya, memotong menjadi bagian-bagian kecil, menambahkan bubuk sulfur, hingga pada pengemasan ditampilkan dengan rinci. Sekuen semacam ini sudah sering saya temui dalam film-film. Namun mungkin saja, “The Match Factory Girl” adalah satu dari sekian pelopornya.
Film Finlandia ini disutradarai oleh Aki Kaurismäki; bagian ketiga dari Ploretariat Trilogy karyanya. Dalam trilogi tersebut, Kaurismäki banyak mengangkat kisah dari kaum-kaum proletar. Sejurus, triloginya sedikit mengingatkan saya dengan neorealism dari Italia.
Dalam “The Match Factory Girl,” Kaurismäki mengetengahkan kisah gadis pekerja bernama Iris (Kati Outinen). Sesuai judulnya, ia bekerja di sebuah pabrik korek api. Setiap bekerja, terbaca dari ekspresi wajahnya bahwa ia bosan dengan apa yang dilakoninya. Wajahnya nyaris tanpa emosi. Kati Outinen dengan sempurna melakoni perannya ini meski tidak banyak hentakan yang ia lakukan.
Iris adalah gadis yang terjebak dalam rutinitas membosankan. Selesai bekerja, ia biasa langsung pulang ke rumah. Sesekali dalam perjalanan, buku menjadi pembunuh rasa sepi. Hidupnya monoton juga berat. Saya merasakan kesesakan yang dialami Iris. Rasa sesak itu semakin terasa saat ia dipaksa menopang hidup ibu dan ayah tirinya.
Seperti gadis pada umumnya, Iris ingin memiliki pasangan. Di waktu senggang, ia datang ke tempat dansa dengan harapan mendapat kenalan pria. Apa daya, Iris bukan gadis yang atraktif. Penonton pun dapat menilainya hanya dari riasan wajah dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Di salah satu adegan ditampilkan bahwa seorang wanita tua saja mampu menarik perhatian pria ketimbang dirinya.
Pencariannya berakhir saat ia bertemu dengan Aarne (Vesa Vierikko). Tidak butuh waktu lama bagi Iris untuk menerima kehadirannya. Di saat Iris merasakan rasa suka yang belum pernah ia rasakan, tidak dengan Aarne. Baginya, Iris hanyalah teman tidur semata. Pagi hari menandai selesainya hubungan mereka.
Tak diduga, Iris hamil. Ia tidak ingin apa-apa selain pengakuan Aarne sebagai bapak dari anak yang dikandungnya. Sungguh tega, Aarne malah meminta Iris menggugurkan kandungan. Belum habis air matanya, ibunya malah mengusirnya dari rumah.
Sebagai film arthouse, “The Match Factory Girl” punya format dengan minim dialog. Saya harap Anda betah dengan film-film semacam ini. Narasi tulisan Kaurismäki memang menceritakan kisah pahit seorang gadis kelas bawah. Konflik yang dihadapi sudah kerap kita jumpai pula. Tapi kekuatan dari film bukan terletak pada narasi, melainkan ekspresi.
Ya, ekspresi dari Kati Outinen dalam melakoni peran Iris adalah gravita di sini. Lewat penghantaran ekspresinya, penonton dapat memahami suasana apa yang sedang digambarkan. Ekspresi bosannya, kekecewaan, hingga amarahnya terpancar sangat jelas. Dengan sentuhan subtle itu, Kaurismäki berhasil menggaet penonton dalam memahami isi hati dari Iris.
Iris adalah pusat di sini. Saya baru menyadari mengapa Kaurismäki lebih memilih penceritaan yang subtle ketimbang narasi penuh letupan konflik. Ia menginginkan karakter Iris sebagai sasaran untuk dicermati oleh penonton. Mengamatinya, simpati padanya, atau bahkan menertawainya.
“The Match Factory Girl” mungkin akan terasa sangat monoton bagi Anda. Kisah seorang gadis yang menghadapi realita kejam karena ditinggal pria yang disukainya mungkin sudah mainstream. Namun jika kita melihat dari cara Kaurismäki bertutur, film ini adalah sebuah mahakarya yang sangat bagus.