Bila mendengar soal Rumah Produksi Blumhouse, maka pikiran kita tidak bisa dilepaskan dengan film-film berbau horror(sebagian besar) maupun thriller. Didirikan oleh Jason Blum, Blumhouse bisa dibilang menguasai pangsa pasar film-film horror dari Hollywood. Film-film produksinya juga mudah memikat perhatian para moviegoer dan membuatnya dikenang lama. Sebut saja seperti franchise “Paranormal Activity,” “Sinister,” “Insidious,” hingga “The Purge.”
Di antara semuanya, banyak juga filmnya yang berkualitas ‘menyedihkan’ seperti “Oculus,” “Ouija,” atau “Jessabelle” (kesemuanya dibuat tahun 2014) atau “The Lazarus Effect” (2015). Jangan salah, film-film horror-nya ternyata banyak juga yang berkesan di hati. Anda bisa mencoba menonton “13 Sins” (2014), “Unfriended” (2015), atau “Creep” (2015). Thriller psikologi “The Gift” (2015) juga jangan sampai kelewatan. Anda bahkan juga tidak akan menyangka bila drama-music “Whiplash” (2014) juga produksi dari Blumhouse.
Memang pada akhirnya sebuah kualitas film memanglah kembali pada kepiawaian sang sutradara dalam menarasikan naskah yang juga bagus. Tidak peduli itu dari rumah produksi apa, kualitas sebuah film tidak dipengaruhi oleh hal tersebut.
Di sini ada film terbaru keluaran Blumhouse bertajuk “Visions.” Karena ini film horror, kira-kira cerita apa yang dapat Anda rangkai hanya dari judulnya saja ? Sang karakter utama memiliki kemampuan indera keenam yang dapat melihat penampakan hantu (dan sejenisnya) atau peristiwa yang telah/akan terjadi. Kira-kita begitu ? Ya, benar sekali.
Kita akan bertemu dengan Eveleigh Maddox (Isla Fisher), seorang wanita yang tengah hamil muda dan baru saja pindah rumah dengan sang suami, David (Anson Mount) ke daerah perkebunan anggur. Ingat, bila film horrordiawali dengan pindahan rumah, biasanya rumah baru itu berpotensi sebagai haunted house. Benar sekali. Rumah tersebut berhantu. Kira-kira itulah apa yang dipikirkan pertama kali oleh Eveleigh. Benarkah demikian ?
Sebelum bercerita ke arah tersebut, “Visions” diawali dengan sekuen tentang peristiwa kecelakaan yang dialami oleh Eveleigh. Kejadiannya satu tahun sebelum kepindahan tersebut. Kecelakaan itu meninggalkan trauma mendalam padanya. Mungkinkah perpindahannya dengan David adalah upaya recovery ? Bisa saja. Apakah perasaan-perasaan aneh yang ia alami di rumah baru ada sangkut pautnya dengan kecelakaan itu ? Bisa saja.
Selama di rumah tersebut, Eveleigh kerap kali melihat penampakan-penampakan mencurigakan beraneka macam wujudnya, seperti botol anggur tiba-tiba meledak, pistol tergeletak, manekin bergerak sendiri, hingga seorang pria memakai kerudung hitam tengah mengawasinya. Apa yang terjadi jika Eveleigh menceritakannya pada David ? Kembali mengikuti pakem—David tentu saja tidak percaya. Dan lagi, benda yang bergerak sendiri pastilah kembali ke tempat semula.
Awalnya saya akan mengira bila “Visions” hanya akan berakhir sebagai dumb layaknya film-film sejenis. Memang sebelum filmnya berakhir, tabu rasanya berfikir semacam itu. Saya kemudian mencoba mencerna tiap alurnya yang tidaklah rumit dan mencari kesenangan di baliknya. Mengejutkannya, “Visions” cukup mengasyikkan untuk diikuti hingga akhir. Namun tidak bisa saya pungkiri bila beberapa momennya sempat membuat saya jenuh.
Film ini disutradarai oleh Kevin Greutert serta naskahnya ditulis oleh L.D Goffigan dan Lucas Sussman. Menyuntikkan twistcukup mengagetkan di bagian klimaks adalah langkah yang tepat. Mungkin tidaklah luar biasa, tapi mampu membuat saya merasa bodoh sejak menit-menit awal begitu menyenangkan. Tidak buruk juga.