“Theeb” disutradarai oleh Naji Abu Nowar dengan naskah yang ditulisnya bersama Bassel Ghandour. Dari menit-menit awalnya, saya sudah mulai yakin bila “Theeb” adalah film arthouse. Dengan berbau petualangan, sang titular character di sini melewati proses pencarian jati diri dalam luasnya hamparan gurun di Timur Tengah.
Theeb adalah tokoh sentral di sini. Ia seorang bocah yang usianya berkisar antara delapan hingga sepuluh tahun menurut perkiraan saya. Ia bagian dari Kelompok Bedouin (atau Bani Bedouin) yang hidup secara nomaden di Gurun Wadi Rum. Theeb diperankan oleh Jacir Eid Al-Hwietat, seorang bocah asli dari Bani Bedouin. Seperti halnya neorealism di Itali, Naji Abu Nowar sengaja memilih tenaga aktor non-profesional di sini. Dengan alasan ia menginginkan agar karakter yang dimainkan begitu nyata demi menjaga keasliannya, seperti dialek hingga kehidupan sehari-harinya.
Theeb tinggal dalam sebuah tenda di antara Wadi Rum bersama keluarganya yang sebagian besar didominasi oleh pria. Saya menebak, keluarga ini hidup dari menggembalakan ternak. Theeb sangat dekat dengan kakaknya yang bernama Hussein (Hussein Salameh Al-Sweilhiyeen, juga asli Bedouin). Keduanya kerap bermain bersama, mencari air di sumur, dan berlatih menembak.
Suatu ketika datanglah seorang pemandu bernama Marji (Marji Audeh) bersama dengan Orang Inggris, (Jack Fox). Mereka berdua mendatangi kamp milik Theeb dan keluarganya. Orang Inggris tersebut ingin diantarkan menuju sumur Romawi yang di sekitarnya akan segera dibangun kereta api. Salah seorang kakak tertua dari Theeb menyatakan penolakannya karena jalur tersebut lebih banyak dihuni penyamun. Hal ini berhubungan dengan modernisasi yang terjadi di daerah Hejaz (sekarang Arab Saudi, dahulu bagian dari kekuasaan Ottoman Turki). Banyak rel kereta api dibangun, membuat kegiatan memandu jamaah Haji semakin berkurang. Akibatnya, jalur yang dilalui menjadi sepi dan dipenuhi oleh penyamun.
Setelah berdiskusi cukup lama, kakak tertua Theeb menyetujui untuk memandu Orang Inggris. Diutuslah Hussein untuk memandu. Theeb yang tidak ingin berpisah sejengkal pun dari Hussein, lantas menyusul. Tidak ingin dipisahkan, Hussein dan Marji pun setuju untuk mengajak serta Theeb dalam rombongan yang melelahkan itu. Tidak sekedar melelahkan, ancaman dari para penyamun siap menanti di antara tebing-tebing Wadi Rum.
“Theeb” adalah film yang kompleks. Banyak sekali poin-poin yang bisa saya bahas dalam ulasan ini. Di dalamnya ada filosofi Tanah Arab yang terkandung rasa persaudaraan, revolusi Arab, hingga proses pendewasaan seorang Theeb yang kemudian menjadikan film ini sebagai coming-of-age drama. Di bagian pembukaan, narator yang tidak lain adalah ayah dari Theeb mengatakan soal rasa persaudaraan dengan cara tidak menolak tamu. Rasa persaudaraan ini kemudian terwujud dari hubungan Theeb dengan salah seorang penyamun, sebut saja The Stranger (Hasan Mutlag Al-Maraiyeh). Namun, apakah benar keduanya saling terikat hubungan yang erat?
The Stranger awalnya ditemukan terluka di atas untanya. Luka yang diakibatkan aksi tembak-tembakan sebelumnya. Theeb tahu ia seorang penyamun. Theeb tahu pula jika ia adalah orang jahat. Perkataan sang ayah di bagian narasi menuntun Theeb untuk menolong dengan mengobatinya. Theeb juga yakin bila hubungannya dengan The Stranger juga tidak akan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan. Ayahnya juga berucap seperti ini, “Jika serigala menawarkan pertemanan, jangan berharap keberhasilan. Ia takkan mendampingimu saat kematian.”
Kalimat tersebut tidak hanya untuk Theeb, tapi juga berlaku bagi The Stranger. Ia dikhianati oleh teman-temannya sesama penyamun. Begitu terluka, ia ditinggalkan begitu saja. Kata “serigala” di sini bisa saja merupakan konotasi dari “penyamun” atau “penjahat.” Kata “theeb” sendiri juga memiliki arti “serigala.” The Stranger mengaku mengenal ayah Theeb dan berkata, “serigala tetap akan melahirkan serigala.” Mungkinkah ayah Theeb seorang penyamun seperti The Stranger? Mungkinkah The Stranger pernah dikhianati oleh ayah Theeb?
“Theeb” juga bercerita tentang revolusi Arab. Dimana pada masa Perang Dunia I tersebut, Inggris mulai menanamkan pembaratan di Jazirah Arab. Terutama dengan membangun rel-rel kereta api. Saat itu, kereta api dengan mudahnya mengantarkan para jemaah Haji menuju Mekkah. Akibatnya, jumlah para pemandu Haji berkurang. Saya berpendapat bila gerombolan penyamun berawal dari para pemandu yang kehilangan mata pencaharian. Dengan kata lain, para penyamun itu adalah korban dari modernisasi.
Salah satu keindahan dari “Theeb” adalah pada sinematografi yang banyak mengambil sudut-sudut di tebing Wadi Rum. Hamparan gurun berbatu nan indah juga terekam dengan sempurna oleh kamera Wolfgang Thaler. Yordania memang tempat yang eksotik untuk pengambilan film-film bersetingkan Timur Tengah, sebut saja film-film milik Kathryn Bigelow.
Berkisah tentang apakah “Theeb” sebenarnya? “Theeb” adalah film yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal yang dipunyai Bangsa Arab. Dituturkan dengan cara yang filosofis pula. Bagaimana dalam filosofi tersebut, manusia hendaklah memanusiakan sesama manusia. Tidak peduli siapa orang yang tengah dihadapi. Atau seberapa kejamkah dia. Selama ia manusia, perlakukan layaknya manusia. Hukuman adalah soal yang lain.