Setelah menonton “The Wave” (2015) dengan kemunculan klaustropobiknya yang hanya dalam satu sekuen, “The 33” bisa menawarkan lebih. “The 33” berkisah tentang terjebaknya para pekerja tambang emas San José di Copiapó, Chili pada tahun 2010. Judulnya merujuk pada jumlah korban yang terjebak. Lebih kurang selama dua bulan mereka merasakan pengapnya di dalam tanah. Bisa dibayangkan derita apa saya yang mereka alami. Kelaparan, haus, sesak nafas, dan psikologis yang bisa saya terganggu.
Sudahkah saya mengatakan kalau ini diangkat dari kisah nyata ? Ya, ini diangkat dari kisah nyata. Patricia Riggen selaku sutradara dibantu tiga penulis naskah memilih jalur yang tidak terlalu over-dramaticdalam membawa cerita ke dalam film. Memang, bayangan pertama saya pada “The 33” adalah survival dengan dramatisasi lebih. Ternyata tidak. “The 33” memiliki banyak fun di dalamnya. Tidak jarang pula, momen-momen lucu muncul sekelebat meredakan ‘sesak nafas’ selama menontonnya.
Meski pun bersumber dari kisah nyata, “The 33” tetap memiliki formula dalam film disaster (ya, “The 33” boleh saja disebut disaster) yang umum kita kenal. Semua diawali dengan teori bahwa tempat kejadian perkara tidaklah aman lagi. Tapi kali ini, bukan seorang geologistyang mengingatkannya. Melainkan salah satu dari 33 survivors (lebih tepatnya mandor) yang terjebak di dalamnya. Bagaimana kelanjutannya ? Sudah pasti kesemua penambang masuk ke dalamnya. Sang mandor tidak berani membantah perintah atasan.
Batuan raksasa yang disebut berukuran sama dengan dua Empire State Building longsor ke dalam. Akibatnya, satu-satunya jalan menuju keluar tertutup oleh batuan raksasa itu. Panik, takut, dan semua rasa bercampur menjadi satu. Awalnya mereka semua percaya jika sebentar lagi akan diselamatkan. Tidak lama berselang, rasa percaya diri mereka langsung luntur seketika.
Berdasar karakternya, “The 33” berfokus pada area dalam tanah dan di permukaan. Di bagian dalam, kita akan bertemu dengan Mario (Antonio Banderas). Boleh dikatakan jika Mario adalah pemimpin para penambang terjebak itu. Di bagian permukaan, ada María (Juliette Binoche), seorang pedagang sandwich yang adiknya menjadi salah satu korban dalam tambang. Selain itu, ada pula Menteri Pertambangan Laurence Golborne (Rodrigo Santoro) yang berpikiran tenang dan berjiwa pahlawan.
Konflik dimulai ketika tim penyelamat merasa tidak mampu menyelamatkan para korban. Bisa saja tim penyelamat justru menjadi korban berikutnya. Pasalnya, semua korban terjebak dalam tanah sedalam 700 meter dan tidak memungkinkan mesin bor menghancurkan batu raksasa tersebut. Perlu diingat lagi, batunya sebesar dua Empire State Building. Saya tidak bisa membayangkan seberapa berat ukuran dua gedung itu. Yang pasti sangat berat dan keras. Penjelasan sang Kepala Insinyur memang meyakinkan, tapi juga cukup membuat saya tersenyum.
“The 33” adalah cara Patricia Riggen mengungkapkan ‘dunia hitam’ dalam bisnis pertambangan. Nyawa pekerja selalu menjadi taruhan dalam mengambil logam mulia yang memperkaya para pemiliknya. Tapi di sisi lain, para pekerja tambang malah hidup serba kekurangan dengan gaji yang rendah pula. Nyawa pekerja serasa tidak dihargai. Begitu para pekerja terjebak dalam tanah, pihak perusahaan pun seolah menutup-nutupi kejadian itu. Seperti inikah memang keadaannya ? Apa yang terjadi di Chili sebagai negara berkembang, saya pikir tidak ubahnya dengan keadaan yang ada di Indonesia.
“The 33” adalah docu-drama yang menginspirasi dengan kadar cukup. Perjuangan para korbannya untuk tetap bertahan hidup merupakan bukti syukur. Sekali lagi saya mempelajari bahwa satu-satunya nyawa ini sangatlah berarti. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga berarti untuk orang-orang sekitar. Meski terkesan menyesakkan, “The 33” tidaklah sedepresif yang saya bayangkan. Film ini penuh dengan fun (terkadang juga goofy) tanpa melenyapkan sisi horror-nya.