Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Tom Hooper
Pemain: Colin Firth, Helena Bonham Carter, Geoffrey Rush, Guy Pearce, Michael Gambon, Timothy Spall, Jennifer Ehle, Derek Jacobi, Anthony Andrews, Eve Best, Freya Wilson, Ramona Marquez, Claire Bloom
Tahun Rilis: 2010
Dia (Colin Firth) putra kedua Raja George V (diperankan dengan cemerlang oleh Michael Gambon) yang nyawanya sudah diujung tanduk. Artinya, dia lah orang kedua yang berada di garis calon pewaris tahta Inggris. Tepat di belakang kakaknya (Guy Pearce) yang jelas-jelas lebih tertarik pada perempuan Amerikanya yang sudah pernah menikah dua kali (dan hendak menceraikan suami keduanya demi menikahi). Sebenarnya, kapasitasnya cukup-cukup saja untuk duduk di kursi tahta. Hanya satu masalahnya: dia gagap!
Dari adegan pembuka saja, saat dia bergulat keras dengan kegagapannya ketika hendak menyampaikan sebuah pidato di depan begitu banyak orang, wajahnya seoalah-olah hendak berbicara pada penonton: Dilahirkan di keluarga kerajaan itu bukan urusan gampang! Jadi pewaris tahta itu bukan urusan gampang! Dan mentang-mentang dilahirkan sebagai pewaris tahta, bukan berarti selalu siap dari segala sisi!
Hampir tidak ada satu situasi pun yang mengenakkannya di film ini. Di awal saja dia sudah dituntut untuk berpidato. Bapaknya menuntut berpidato melawan kegagapannya. Kakaknya mengejek kegagapannya. Dan rakyatnya sendiri jelas tidak mau melihat sosok no. 2 pewaris tahta berpidato gagap. Beruntungnya dia punya istri (Helena Bonham Carter dengan penampilan sederhananya yang paling cemerlang setelah The Wings of the Dove) yang sangat perhatian, penyabar, dan penuh kasih sayang. Si istri rela pergi kesana-kemari mencari pakar-pakar yang bersedia menyembuhkan, atau sekedar menemui, kegagapannya. Salah satunya menuntutnya untuk membaca dengan tujuh kelereng bersarang di mulutnya. Sampai akhirnya si istri menemukan orang yang tepat untuk mengatasi kegagapannya, Lionel Logue (diperankan dengan sangat konsisten oleh Geoffrey Rush), seorang pakar terapi Australia.
Ternyata si Lionel ini punya metoda sendiri yang harus dipatuhinya. Dengan lancang dia memanggilnya dengan nama “Bertie,” yang seharusnya hanya boleh digunakan keluarga. Dia bahkan memerintahnya untuk patuh dengannya selama berada di bawah terapinya: “Istanaku, aturanku!” Susah memang pada awal-awalnya, terlibih karena memang dia orang yang emosional dan keras kepala. Tapi perlahan-lahan keduanya mulai saling percaya satu sama lain. Yang paling mencolok dari metoda Lionel ini ialah dia lebih mengdepankan persoalan personal ketimbang tetek bengek medis. Yang saya tangkap memang itu lah salah satu subyek kemenarikan utama film ini: perlakuan Lionel Louge terhadap dirinnya yang notabene seorang anak raja – dan selanjutnya menjadi raja. Louge sadar, untuk menyembuhkannya, dia harus berteman dengannya.
Banyak kejadian-kejadian bersejarah penting yang terjadi sepanjang durasi film ini: pecahnya Perang Dunia II, krisisi kekuasaan di Inggris, meninggalnya Raja George V, mulainya era Depresi Besar (Great Depretion), perpecahan politik antara kerjaan dan parlemen pemerintahan, pelepasan tahta Raja Edward VIII, sampai munculnya kelas-kelas perjuangan tertentu.Tapi semua itu hanya terjadi di belakang layar semata, hanya berfungsi sebagai layar belakang dari kisah utamanya: perjuangan seorang raja menyembuhkan kegagapannya. Untungnya Tom Hopper tahu betul bagaimana memanfaatkan latar tersebut untuk makin mencekik dilema tokoh utama.
Hal tersebut juga didukung dengan gaya visual yang dihadirkan. Kalau biasanya period drama cenderung mengeksplorasi sudut-sudut kamera yang luas, lebar, dan landscapeable, Tom Hooper malah menghadirkan gambar kamera yang sempit-sempit, isolatif, biasanya panjang (panjang-sempit), dan cenderung dari sudut-sudut ganjil (dari atas kepala, misalnya). Gaya visual yang dipakai Tom Hopper ini memberi dua keuntungan: [1] Menegaskan betapa mencekiknya dilema yang kegagapan si raja; [2] Menegaskan suasananya, baik di saat-saat komikal ataupun di saat-saat pretentious.
The King's Speech memang film historikal, tapi bukan tipikal yang memfokuskan diri pada politik, sosial, atau kulturalnya. Dalam wawancaranya, Colin Firth sendiri menganggap The King's Speech sebagai sebuah “bromance,” aliac “boy romance.” Menurutnya film ini mempunyai unsur-unsur romantic comedy, “boy meets therapist, boys loses therapist, and boys gets therapist.” Saya rasa saya cukup menangkap apa yang dimaksud Colin Firth. Persahabatan unik antara tokohnya dengan si pakar terapi di sini bukan hanya sekedar apakah tokohnya mampu menyembuhkan kegagapannya atau tidak.
Pemain: Colin Firth, Helena Bonham Carter, Geoffrey Rush, Guy Pearce, Michael Gambon, Timothy Spall, Jennifer Ehle, Derek Jacobi, Anthony Andrews, Eve Best, Freya Wilson, Ramona Marquez, Claire Bloom
Tahun Rilis: 2010
Dia (Colin Firth) putra kedua Raja George V (diperankan dengan cemerlang oleh Michael Gambon) yang nyawanya sudah diujung tanduk. Artinya, dia lah orang kedua yang berada di garis calon pewaris tahta Inggris. Tepat di belakang kakaknya (Guy Pearce) yang jelas-jelas lebih tertarik pada perempuan Amerikanya yang sudah pernah menikah dua kali (dan hendak menceraikan suami keduanya demi menikahi). Sebenarnya, kapasitasnya cukup-cukup saja untuk duduk di kursi tahta. Hanya satu masalahnya: dia gagap!
Dari adegan pembuka saja, saat dia bergulat keras dengan kegagapannya ketika hendak menyampaikan sebuah pidato di depan begitu banyak orang, wajahnya seoalah-olah hendak berbicara pada penonton: Dilahirkan di keluarga kerajaan itu bukan urusan gampang! Jadi pewaris tahta itu bukan urusan gampang! Dan mentang-mentang dilahirkan sebagai pewaris tahta, bukan berarti selalu siap dari segala sisi!
Hampir tidak ada satu situasi pun yang mengenakkannya di film ini. Di awal saja dia sudah dituntut untuk berpidato. Bapaknya menuntut berpidato melawan kegagapannya. Kakaknya mengejek kegagapannya. Dan rakyatnya sendiri jelas tidak mau melihat sosok no. 2 pewaris tahta berpidato gagap. Beruntungnya dia punya istri (Helena Bonham Carter dengan penampilan sederhananya yang paling cemerlang setelah The Wings of the Dove) yang sangat perhatian, penyabar, dan penuh kasih sayang. Si istri rela pergi kesana-kemari mencari pakar-pakar yang bersedia menyembuhkan, atau sekedar menemui, kegagapannya. Salah satunya menuntutnya untuk membaca dengan tujuh kelereng bersarang di mulutnya. Sampai akhirnya si istri menemukan orang yang tepat untuk mengatasi kegagapannya, Lionel Logue (diperankan dengan sangat konsisten oleh Geoffrey Rush), seorang pakar terapi Australia.
Ternyata si Lionel ini punya metoda sendiri yang harus dipatuhinya. Dengan lancang dia memanggilnya dengan nama “Bertie,” yang seharusnya hanya boleh digunakan keluarga. Dia bahkan memerintahnya untuk patuh dengannya selama berada di bawah terapinya: “Istanaku, aturanku!” Susah memang pada awal-awalnya, terlibih karena memang dia orang yang emosional dan keras kepala. Tapi perlahan-lahan keduanya mulai saling percaya satu sama lain. Yang paling mencolok dari metoda Lionel ini ialah dia lebih mengdepankan persoalan personal ketimbang tetek bengek medis. Yang saya tangkap memang itu lah salah satu subyek kemenarikan utama film ini: perlakuan Lionel Louge terhadap dirinnya yang notabene seorang anak raja – dan selanjutnya menjadi raja. Louge sadar, untuk menyembuhkannya, dia harus berteman dengannya.
Banyak kejadian-kejadian bersejarah penting yang terjadi sepanjang durasi film ini: pecahnya Perang Dunia II, krisisi kekuasaan di Inggris, meninggalnya Raja George V, mulainya era Depresi Besar (Great Depretion), perpecahan politik antara kerjaan dan parlemen pemerintahan, pelepasan tahta Raja Edward VIII, sampai munculnya kelas-kelas perjuangan tertentu.Tapi semua itu hanya terjadi di belakang layar semata, hanya berfungsi sebagai layar belakang dari kisah utamanya: perjuangan seorang raja menyembuhkan kegagapannya. Untungnya Tom Hopper tahu betul bagaimana memanfaatkan latar tersebut untuk makin mencekik dilema tokoh utama.
Hal tersebut juga didukung dengan gaya visual yang dihadirkan. Kalau biasanya period drama cenderung mengeksplorasi sudut-sudut kamera yang luas, lebar, dan landscapeable, Tom Hooper malah menghadirkan gambar kamera yang sempit-sempit, isolatif, biasanya panjang (panjang-sempit), dan cenderung dari sudut-sudut ganjil (dari atas kepala, misalnya). Gaya visual yang dipakai Tom Hopper ini memberi dua keuntungan: [1] Menegaskan betapa mencekiknya dilema yang kegagapan si raja; [2] Menegaskan suasananya, baik di saat-saat komikal ataupun di saat-saat pretentious.
The King's Speech memang film historikal, tapi bukan tipikal yang memfokuskan diri pada politik, sosial, atau kulturalnya. Dalam wawancaranya, Colin Firth sendiri menganggap The King's Speech sebagai sebuah “bromance,” aliac “boy romance.” Menurutnya film ini mempunyai unsur-unsur romantic comedy, “boy meets therapist, boys loses therapist, and boys gets therapist.” Saya rasa saya cukup menangkap apa yang dimaksud Colin Firth. Persahabatan unik antara tokohnya dengan si pakar terapi di sini bukan hanya sekedar apakah tokohnya mampu menyembuhkan kegagapannya atau tidak.