Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Tomás Gutiérrez Alea & Juan Carlos Tabío
Pemain: Jorge Perugorría, Vladimir Cruz, Mirta Ibarra, Francisco Gattorno, Joel Angelino, Marilyn Solaya, Andrés Cortina, Antonio Carmona
Tahun Rilis: 1994
Judul Internasional: Strawberry and Chocolate
Diangkat dari cerpen El Lobo, el bosque y el hombre nuevo karya Senel Paz.
Pemain: Jorge Perugorría, Vladimir Cruz, Mirta Ibarra, Francisco Gattorno, Joel Angelino, Marilyn Solaya, Andrés Cortina, Antonio Carmona
Tahun Rilis: 1994
Judul Internasional: Strawberry and Chocolate
Diangkat dari cerpen El Lobo, el bosque y el hombre nuevo karya Senel Paz.
Apa yang ada di kepala kamu ketika melihat sorang pria memesan es krim rasa stroberi ketimbang yang rasa coklat? Aneh? Itu lah yang ada di kepala David (Vladimir Cruz) ketika Diego (Jorge Perrugoria) tiba-tiba duduk di depannya sambil melahap es krim stroberi. Tidak hanya “aneh,” David bahkan langsung memberi label “banci” pada Diego (apalagi melihat keflamboyanan dan kekemayuan Diego).
Kejadian tersebut terjadi di sebuah universitas di Havanah, di sekitar 1979. Saat itu Kuba masih di bawah rezim Komunis. David adalah mahasiswa pro-Castro (pro-Komunis) yang sedang dilanda kemurungan akibat ditinggal kawin pacarnya. Bukan rahasia lagi kalau Komunis memandang homoseksual sebagai “produk borjuis” atau “efek dari Kapitalis” Di sekitar era 60-70an, banyak lesbian, gay, dan banci yang dipenjara, tanpa tuduhan atau pengadilan, dan dibuat melakukan kerja paksa. Simpelnya, komunisme Kuba bisa disetarakan dengan homofobia. Termasuk David yang juga menunjukkan sikap homofobia ketika dihampiri Diego dengan semangkuk es krim stroberi.
Tapi Diego bukan gay yang bodoh. Diego punya berbagai macam cara untuk membawa David ke apartemennya, mulai dari menyuguhkan buku-buku seni dari luar yang ilegal hingga berbohong (?) tentang koleksi foto David yang ada di apartemennya. Homofobia mana yang mau fotonya diam-diam disimpan seorang gay? David, dengan sikap yang sangat waspada dan hati-hati, menuruti ajakan Diego ke apartemennya yang penuh dengan barang-barang seni dan produk-produk ilegel. Diego dengan sengaja menumpahkan kopi ke baju David (tahu kan tujuannya?). Dan David, dengan parasaan marah, langsung saja angkat kaki.
Tapi itu bukan perjumpaan terakhir Diego dan David, karena Miguel (Francisco Gattorno), teman seasrama David, memerintahkan David untuk menyelidiki Diego kalau-kalau ada tindak-tanduknya yang membahayakan Komunis, apalagi Diego sempat memberi tahu David tentang pameran seni yang hendak digelarnya. Dari sisi Diego, kembalinya David ini jelas membangkitkan kembali minat seksualnya. Namun alih-alih menjalankan misi rahasia masing-masing, keduanya malah menjalin pertemanan. Dan sebagai teman, keduanya saling bertukar pikiran berkaitan dengan posisi masing-masing, yang satu sebagai pengikut Komunis dan yang satu sebagai homoseksual yang tertindas oleh Komunis.
David juga diperkenalkan pada Nancy (Mirta Ibarra), tetangga sekaligus sahabat Diego, seorang PSK labil yang beberapa kali mencoba bunuh diri. David dan Nancy jatuh cinta satu sama lain. Terjadilah semacam cinta segitiga antara Nancy, Diego, dan David. Tapi kalau adegan rebut-rebutan David yang diharap, siap-siap saja kecewa. Karena sekalipun terlihat jelas kalau Diego mempunyai hasrat terhadap David, dia bisa menepati janji dan posisinya “sebagai teman.”
Saya sendiri lebih melihat posisi Nancy sebagai tokoh yang ambigu (dalam artian positif), sekaligus fleksibel, di antara Diego dan David. Juga sebagai wujud toleransi Diego atas orientasi seksual David. Hal ini diperlukan karena nyaris disepanjang film percakapan antara David dan Diego cenderung terpolarisasi. David sendiri cenderung stereotipe sebagai tokoh sentral: muda, maskulin, idealis, dan naif. David merupakan personifikasi anak-anak muda yang haus akan pengetahuan. Tidak heran kalau akhirnya David terpana-pana sendiri dengan apa-apa saja yang didapatnya dari Diego, termasuk wiskey, sastra, dan Truman Capote, yang pada akhirnya (mungkin) sedikit mengoyahkan keyakinan David pada Komunisme. Hal ini tidak lepas dari pengetahuan dan cara pandang Diego yang lebih tercerahkan, sekalipun Diego terkesan menggebu-gebu dalam cara penyampaian. Dasar penokohan tersebut sudah lebih dari cukup bagi saya.
Dari premisnya, mungkin sekilas Strawberry and Chocolate lebih mirip sebuah film sosio-politik anti-Komunisme. Namun semakin durasi berjalan, nominator Best Foreign Language Oscar asal Kuba ini lebih mengarah ke sisi humanis. Penonton diperlihatkan Kuba melalui dua kacamata yang berbeda. Tidak dengan cara memoralisasi salah satu kubu. Dari ruang yang paling sederhana saja, film ini berbicara tentang perbedaan-perbedaan antar umat manusia. Es krim stroberi di sini dijadikan semacam simbol sosial – sama halnya dengan warna pink dan boneka Barbie, bahwa itu kepunyaan perempuan, bukan laki-laki. Laki-laki yang menyukai pasti langsung dipandang negatif. Padahal, suka es krim stroberi atau es krim coklat, itu selera masing-masing.
Kejadian tersebut terjadi di sebuah universitas di Havanah, di sekitar 1979. Saat itu Kuba masih di bawah rezim Komunis. David adalah mahasiswa pro-Castro (pro-Komunis) yang sedang dilanda kemurungan akibat ditinggal kawin pacarnya. Bukan rahasia lagi kalau Komunis memandang homoseksual sebagai “produk borjuis” atau “efek dari Kapitalis” Di sekitar era 60-70an, banyak lesbian, gay, dan banci yang dipenjara, tanpa tuduhan atau pengadilan, dan dibuat melakukan kerja paksa. Simpelnya, komunisme Kuba bisa disetarakan dengan homofobia. Termasuk David yang juga menunjukkan sikap homofobia ketika dihampiri Diego dengan semangkuk es krim stroberi.
Tapi Diego bukan gay yang bodoh. Diego punya berbagai macam cara untuk membawa David ke apartemennya, mulai dari menyuguhkan buku-buku seni dari luar yang ilegal hingga berbohong (?) tentang koleksi foto David yang ada di apartemennya. Homofobia mana yang mau fotonya diam-diam disimpan seorang gay? David, dengan sikap yang sangat waspada dan hati-hati, menuruti ajakan Diego ke apartemennya yang penuh dengan barang-barang seni dan produk-produk ilegel. Diego dengan sengaja menumpahkan kopi ke baju David (tahu kan tujuannya?). Dan David, dengan parasaan marah, langsung saja angkat kaki.
Tapi itu bukan perjumpaan terakhir Diego dan David, karena Miguel (Francisco Gattorno), teman seasrama David, memerintahkan David untuk menyelidiki Diego kalau-kalau ada tindak-tanduknya yang membahayakan Komunis, apalagi Diego sempat memberi tahu David tentang pameran seni yang hendak digelarnya. Dari sisi Diego, kembalinya David ini jelas membangkitkan kembali minat seksualnya. Namun alih-alih menjalankan misi rahasia masing-masing, keduanya malah menjalin pertemanan. Dan sebagai teman, keduanya saling bertukar pikiran berkaitan dengan posisi masing-masing, yang satu sebagai pengikut Komunis dan yang satu sebagai homoseksual yang tertindas oleh Komunis.
David juga diperkenalkan pada Nancy (Mirta Ibarra), tetangga sekaligus sahabat Diego, seorang PSK labil yang beberapa kali mencoba bunuh diri. David dan Nancy jatuh cinta satu sama lain. Terjadilah semacam cinta segitiga antara Nancy, Diego, dan David. Tapi kalau adegan rebut-rebutan David yang diharap, siap-siap saja kecewa. Karena sekalipun terlihat jelas kalau Diego mempunyai hasrat terhadap David, dia bisa menepati janji dan posisinya “sebagai teman.”
Saya sendiri lebih melihat posisi Nancy sebagai tokoh yang ambigu (dalam artian positif), sekaligus fleksibel, di antara Diego dan David. Juga sebagai wujud toleransi Diego atas orientasi seksual David. Hal ini diperlukan karena nyaris disepanjang film percakapan antara David dan Diego cenderung terpolarisasi. David sendiri cenderung stereotipe sebagai tokoh sentral: muda, maskulin, idealis, dan naif. David merupakan personifikasi anak-anak muda yang haus akan pengetahuan. Tidak heran kalau akhirnya David terpana-pana sendiri dengan apa-apa saja yang didapatnya dari Diego, termasuk wiskey, sastra, dan Truman Capote, yang pada akhirnya (mungkin) sedikit mengoyahkan keyakinan David pada Komunisme. Hal ini tidak lepas dari pengetahuan dan cara pandang Diego yang lebih tercerahkan, sekalipun Diego terkesan menggebu-gebu dalam cara penyampaian. Dasar penokohan tersebut sudah lebih dari cukup bagi saya.
Dari premisnya, mungkin sekilas Strawberry and Chocolate lebih mirip sebuah film sosio-politik anti-Komunisme. Namun semakin durasi berjalan, nominator Best Foreign Language Oscar asal Kuba ini lebih mengarah ke sisi humanis. Penonton diperlihatkan Kuba melalui dua kacamata yang berbeda. Tidak dengan cara memoralisasi salah satu kubu. Dari ruang yang paling sederhana saja, film ini berbicara tentang perbedaan-perbedaan antar umat manusia. Es krim stroberi di sini dijadikan semacam simbol sosial – sama halnya dengan warna pink dan boneka Barbie, bahwa itu kepunyaan perempuan, bukan laki-laki. Laki-laki yang menyukai pasti langsung dipandang negatif. Padahal, suka es krim stroberi atau es krim coklat, itu selera masing-masing.