sinopsis dan review film - film terbaik

WHALE RIDER [2002]

Lewat “Whale Rider,” Keisha Castle-Hughes meraih rekor nominator termuda di Oscar sebelum kemudian dipatahkan oleh Quvenzhané Wallis dalam “Beasts of the Southern Wild” (2012). Di film ini, ia berperan sebagai Paikea, gadis Maori muda yang membuktikan bahwa sanggup menyejajarkan dirinya dengan para laki-laki. Keberanian dan ketangguhannya akan menuntunnya menjadi penerus ketua suku yang sejak dahulu hanya ditempati oleh laki-laki.

Paikea (dipanggil “Pai”) terlahir memiliki saudara kembar. Tapi sayangnya, saudara kembarnya yang laki-laki tidak bisa tertolong ketika lahir. Begitu juga dengan sang ibu. Ayah Paikea, Porourangi (Cliff Curtis) meninggalkannya ke Jerman untuk meneruskan cita-citanya di bidang seni. Sudah menjadi tradisi di Suku Maori, bila anak laki-laki pertama dari kepala suku akan melanjutkan posisi sang ayah. Porourangi lebih menuruti kata hatinya. Tidak salah jika ia selalu berselisih paham dengan ayahnya.

Pai kemudian dibesarkan oleh sang kakek yang dipanggilnya Koro (Rawiri Paratene). Bersama juga neneknya (Vicky Haughton). Kakek Koro awalnya kurang menerima Pai karena perempuan. Tapi perasaan iba telah mengubahnya. Kakek Koro juga kerap melatih anak-anak laki-laki Maori untuk bisa menggantikannya sebagai kepala suku. Di baliknya, jiwa kepemimpinan dan tekat kuat Pai berusaha bangkit melanjutkan.

Pertentangan Kakek Koro dengan Pai tidak terelakkan. Puncaknya adalah ketika Pai ketahuan saat berlatih senjata tradisional Maori. “Taiaha” namanya. Sebagai penonton, kita sudah tahu jika kelak Pai akan berhasil menyandang predikat kepala suku. Kemampuannya akan diakui, khususnya oleh Kakek Koro. Tapi untuk menuju ke sana, ia harus melunakkan hati Kakek Koro yang sekeras batu.

Nama “Paikea” berasal dari leluhur Suku Maori yang mendiami pantai sebelah selatan Selandia Baru. Namanya berasal dari Bahasa Maori yang berarti “paus bungkuk”—saya yakin sekali itu paus bungkuk. Bentuk tubuhnya khas dan terdapat bercak-bercak putih di seluruh tubuhnya. Dikisahkan bahwa zaman dahulu Paikea (atau Kahutia Te Rangi) diselamatkan oleh paus bungkuk dan mengendarainya hingga ke daratan. “Whale Rider” didasarkan pada mitos tersebut.

“Whale Rider” disutradarai dan ditulis oleh Niki Caro. Hasil adaptasi buku berjudul sama karya Witi Ihimaera. Ini adalah coming-of-age drama. Ini juga film yang mengangkat feminism (saya menyukai ini). Dan ini adalah film yang memakai konsep “The Chosen One;” konsep yang sudah kerap Anda lihat. “Whale Rider” memang memiliki banyak sekali bagian klise di dalamnya. Tapi itu tidaklah menjadi kelemahan di tangan Niki Caro. 

Dalam pengarahannya, “Whale Rider” menjadi menarik dengan memperkenalkan kebudayaan setempat ditambah aura magis di dalamnya. Semangat gotong royong orang laut dan termasuk di dalamnya pelestarian adat istiadat semakin meningkatkan pesona film ini.

Selain berupaya dalam menunjukkan budaya Suku Maori di kancah dunia, “Whale Rider” adalah drama sederhana dengan konflik seputar keluarga. Salah satunya adalah ayah (di sini sekaligus kepala suku) yang terlalu mendoktrin anak-anaknya. Dan lagi, bahwa laki-laki dianggap lebih layak dalam banyak hal dibandingkan perempuan. Di sinilah paham feminism berbicara. Bahwa perempuan juga memiliki hak serta status yang setara dengan laki-laki.

Saya tidak tahu mengapa bisa menyukai film sederhana nan klise ini. Kisahnya bukan sesuatu yang baru lagi. Namun satu yang pasti, “Whale Rider” memiliki aura magis kental yang menjadi daya tariknya. Puncaknya ada pada sekuen ketika fenomena cetacean stranding (paus terdampar). Di mana paus bungkuk yang paling besar (mungkin saja Paikea), memanggil Pai dan mengizinkannya menaiki punggungnya dengan gagahnya. Nyanyian para paus membuat saya merinding.
Share this article :
+
Previous
Next Post »