sinopsis dan review film - film terbaik

MEMORIES OF MURDER [2003]

**FILM SUPER**
Pecinta film crime-mystery-thriller dengan segala tetek bengeknya seperti : investigasi berintelejensi tinggi sampai penemuan korban dengan menyisakan teka-teki; maka “Memories of Murder” adalah rekomendasi yang tepat bagi mereka. Selesai menonton “Memories of Murder”—reaksi yang hampir sama dengan “Guilty” (2015), saya hanya bisa diam terpaku dengan cerita brilian yang ditawarkan. Mengejutkannya—seperti halnya “Guilty”, “Memories of Murder” didasarkan pada insiden nyata yang pernah menggemparkan Korea Selatan. Disebut dengan “The Hwaseong Serial Murders”, pembunuhan berantai itu terjadi di Kota Hwaseong, Propinsi Gyeonggi, Korea Selatan.

Menggemparkan, sebab pelakunya hingga saat ini belum pernah tertangkap. Insidennya sendiri terjadi di bulan September tahun 1986 hingga 1991; tepat seperti dalam film. Sutradara Bong Joon-ho; yang mungkin dapat Anda kenal lewat karya Hollywood pertamanya, “Snowpiercer” (2013), adalah yang merekonstruksi ulang kejadian itu ke dalam film ini.

Baik, beginilah ceritanya : Mayat seorang wanita ditemukan tergeletak di bawah selokan dekat ladang pada Oktober 1986. Detektif setempat, Park Doo-man (Song Kang-ho) yang bertanggung jawab dalam investigasinya. Namun tidak berapa lama, mayat kedua ditemukan dalam kondisi yang sama; tangan terikat, mulut disumpal, pakaiannya dilucuti. Salah satu hambatan yang dihadapi adalah bahwa teknologi di bidang forensik masih belum menunjang ketika itu. Maka datanglah Detektif Soo Tae-yoon (Kim Sang-kyung) dari Seoul. Dia sukarela menawarkan diri membantu Det. Doo-man. Teorinya ternyata mampu membuktikan penemuan korban ketiga.

Impresi pertama saya dalam menonton film ini adalah berfokus pada peran dua detektif ini. Keduanya memiliki karakteristik yang cukup bertolak belakang masing-masingnya. Det. Doo-man mengandalkan kepekaan dalam menganalisa watak atau pun gelagat seseorang. Ia sangat percaya diri tapi juga sembrono. Cepat tanggap tapi analisanya kerap melenceng. Apa pun akan ia lakukan demi mendapat apa yang diinginkan—tersangka dalam kasus ini. Sebaliknya, Det. Tae-yoon lebih tenang. Analisanya selalu akurat. Tapi tidak disangka akan ada ambisi begitu besar dalam penuntasan kasus tersebut.

Sembari menikmati “Memories of Murder”, saya membuat catatan kecil di pikiran tentang bagian-bagian yang selalu ada pada film-film crime. Dalam film whodunit semacam ini, khususnya yang menampilkan sepak terjang para penegak hukum, “rivalitas” serta “ambisi” biasanya turut pula diangkat ke dalamnya. “Memories of Murder” membawa dua hal tersebut lewat peran aktif kedua karakter utamanya. Rivalitas antara Det. Doo-man dan Det. Tae-yoon bisa dirasakan dengan kuat—lumrah memang. Begitu menginjak bagian kontemplasi, biasanya salah satu karakternya menampilkan ambisi paling kuat. Apakah ambisi merupakan bagian dari idealisme ? Saya ragu akan hal itu.

Bicara soal pihak-pihak berwenang, entah mengapa kritikan satir tidak bisa dilepaskan pula dari sana. “Memories of Murder” lewat naskah tulisan Boo Jong-hoo dan Shim Sung-bo memasukkan pula kritikan pada proses investigasi—khususnya saat menginterogasi tersangka. Asumsi saya ini terkait rivalitas yang berujung pada promosi (naik jabatan). Para oknum tidak berkompeten tersebut mencari fakta dan kebenaran tapi justru malah mengabaikan hak dan keselamatan warga sipil. Akibatnya, sipil yang tidak tahu apa-apa justru menjadi kambing hitam. Interogasi pun diwarnai pula oleh kekerasan. Di sini, Det. Doo-man serta asistennya, Det. Cho Yong-koo (Kim Roi-ha) mewakili karakter tersebut. 

Meski pun konflik yang diangkat sangat pelik dan gelap, filmnya sendiri juga menampilkan momen-momen lucu lewat komedi hitam. Salah satu sekuen menceritakan bagaimana Det. Doo-man menggunakan jasa paranormal demi membongkar identitas pelaku pembunuhan berantai. Bekerja ? Jelas saja tidak. Saya tidak tahu apakah Boo Jong-hoo berniat mengangkat kepercayaan lokal yang masih kuat atau tidak. Hanya saja dari interpretasi saya, Boo sepertinya menggali sifat alamiah manusia ketika putus asa atau depresi berlebihan—jalan keluar yang tidak logis menjadi opsi. Sebagai contoh bisa kita ambil dari kepercayaan masyarakat kita. Begitu permasalahan berat dihadapi, kembalinya ke dukun. Putus cinta—ke dukun. Keuangan sulit—ke dukun.

Inti dari “Memories of Murder” sebenarnya bukan soal mencari si pelaku. Bila film ini berkaca pada kasus yang terjadi pada 1986-91, jelas saja tidak akan ada pelaku yang ditemukan. Sebab kasusnya sendiri belum terpecahkan hingga saat ini. Fokus “Memories of Murder” adalah pada dua tokoh sentral di sini. Karakter keduanyalah yang digali secara mendalam. Ini semua tentang manusia; perubahan wataknya, iri, ambisi, hingga kehilangan kontrol atas diri sendiri—menyebabkan pengaburan antara mana yang baik dan mana yang buruk. Ujung-ujungnya adalah pembalasan dendam. Det. Doo-man dan Det. Tae-yoon memiliki demon di masing-masingnya.

“Memories of Murder” rilis di tahun yang sama dengan “Oldboy” milik Park Chan-wook. Keduanya adalah sekian dari film asal Korea Selatan yang benar-benar menarik atensi saya secara mendalam. Keduanya mahakarya. Mana yang lebih baik ? Saya tidak bisa memilihnya sebab itu tidak penting. Bagian terpentingnya adalah bagaimana kedua film itu begitu sangat saya sukai. Berpengaruh juga tentunya. Dalam hal ini, perasaan adalah hal yang tidak bisa dibohongi saat menilai sebuah film.

Share this article :
+
Previous
Next Post »