sinopsis dan review film - film terbaik

EMPIRE OF PASSION [1978]

Ketika manusia telah dikuasai oleh nafsu membara, terkadang pikiran sudah tak berlogika. Apa pun sesuai dengan tuntutan nafsunya akan dilakoni. Tak peduli dengan akibat yang akan diperoleh, semua terlihat halal saja untuk dijalani. “Empire of Passion” adalah sekelumit contoh bagaimana nafsu mampu menguasai manusia dengan sekejap. Di saat semakin menggebu, nafsu memberikan angan-angan tinggi yang ternyata semuanya hanya berakhir dengan kekosongan. Tiada lagi yang tersisa selain penyesalan.

“Empire of Passion” arahan Nagisa Oshima berpusat pada kisah seorang wanita yang membunuh suaminya atas ajakan selingkuhannya. Jauh di sana, kita kerap mendengar kisah nyata serupa. Memang benar, “Empire of Passion” adalah cerminan kisah mengenai jalan pintas terlarang. Bahkan, tadi malam sebelum menulis ulasan ini, saya melihat berita di tv dengan kasus serupa.

Nagisa Oshima menghantarkan konflik dalam “Empire of Passion” dengan begitu lurus. Semua yang dituturkan lewat naskah tulisannya bersama Itoko Nakamura ini hampir tiada letupan berarti. Mudah ditebak, memang. Kita juga sering disuguhkan film dengan alur serupa, bahkan kisah yang benar-benar terjadi. Tapi, Oshima dan Nakamura membubuhkannya dengan unsur supernatural, membuat “Empire of Passion” memiliki aura amat berbeda.

Berlatar waktu 1800-an di sebuah desa di Jepang, hiduplah seorang penarik becak miskin bersama istrinya. Dia adalah Gisaburo (Takahiro Tamura), sedangkan sang istri bernama Seki (Kazuko Yoshiyuki). Mereka telah dikaruniai dua orang anak; Oshin (Masami Hasegawa) yang tertua telah tinggal jauh untuk bekerja.
Seki bekerja sebagai pelayan di rumah seorang kaya raya. Oleh banyak orang, ia dikenal sebagai “Little Seki” karena memiliki paras cantik dan wajah yang lebih muda dari usianya. Hal tersebut memancing mantan tentara bernama Toyoji (Tatsuya Fuji) untuk terus singgah ke rumahnya. Toyoji adalah seorang pengangguran yang sering membuat onar di desa.

Tiada hari bagi Toyoji untuk tidak menjenguk Seki. Ini dilakukan saat Gisaburo harus menarik becak di tempat yang jauh. Tentu, dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Toyoji memendam rasa suka kepada Seki yang usianya jauh lebih tua. Sedari raut mukanya, terpancar pula rasa ingin lebih memiliki dan menyingkirkan Gisaburo. 

Kepergian Gisaburo kembali lagi dimanfaatkan Toyoji untuk menguasai Seki. Hubungan terlarang keduanya pun dilakukan. Di saat itulah, terbesit pikiran dari Toyoji untuk membunuh Gisaburo. Tidak tanggung-tanggung, Seki pun diajak untuk menghabisi suaminya itu. Tanpa saya melanjutkan sinopsis ini, Anda pasti sudah tahu jika Gisaburo berakhir akan berakhir nahas.

Rasa bersalah tentu saja muncul dari benak Seki. Apalagi, pembunuhan itu telah terjadi selama tiga tahun. Warga desa tentu menyadari hilangnya Gisaburo yang biasanya menarik becak melewati desa. Keduanya harus pintar dalam membuat dalih. Keseruan akan “Empire of Passion” dimulai ketika roh dari Gisaburo mulai mendatangi Seki di malam hari. Ia sering kali menampakkan diri di samping becaknya.
Pada dasarnya, wujud roh Gisaburo tersebut adalah manifestasi dari rasa bersalah Seki. Di luar penambahan unsur horroritu, saya melihatnya sebagai gambaran penyesalan akan perbuatan salah. Jika seorang manusia melakukan sebuah kesalahan dengan alasan apa pun, maka rasa sesal akan terus menghantuinya. 

“Empire of Passion” didukung pula oleh set yang indah serta pengarahan yang sempurna. Pembangunan latarnya juga berpengaruh besar meningkatkan aura yang mencekam. Sudah sejak lama pula, perfilman Jepang dikenal akan kualitas aliran horror-nya. Pun di sini, Nagisa Oshima sanggup menghidupkan atmosfir mencekam dengan didukung latar dark age yang gelap dan berasap. Tidak lupa efek make-up hantu walau sederhana tapi efektik. Performa jajaran cast, khususnya Kazuko Yoshiyuki juga masuk dalam nilai tambah yang dimiliki film ini.

Sedikit disayangkan, Nagisa Oshima ternyata memilih mengakhiri film dengan cara generik. Klimaksnya terlalu mudah ditebak, pula bermain aman. Saya sebenarnya mengharapkan lebih pada Oshima untuk memberikan hentakan keras di akhir film. Tapi kekurangan kecil ini, saya anggap tidak mampu mengurangi keindahan film. Sebuah keindahan yang berasal dari aspek gaya, bukan dari substansi cerita.  
Share this article :
+
Previous
Next Post »