sinopsis dan review film - film terbaik

CAROL [2015]

Selama dua hari ini saya menonton period dramasecara berurutan. Setelah kemarin ada “Brooklyn,” kini ada “Carol”. Menariknya, kedua film ini sama-sama bersettingkan tahun 1952. Tidak kalah mengejutkannya, John Crowley (sutradara “Brooklyn”) awalnya direncanakan untuk menyutradai film yang dibintangi Cate Blanchett dan Rooney Mara ini. “Carol” diangkat dari novel berjudul “The Price of Salt” karya Patricia Highsmith, kemudian diadaptasi dalam naskah oleh Phyllis Nagy. Jika Anda pernah menonton film noir klasik tentang swap murders tahun 1951, Patricia Highsmith lah penulis novelnya.

Seorang shopgirl di sebuah department store memandang wanita glamor berambut pirang beberapa meter di depannya. Tatapannya pada wanita tersebut penuh rasa penasaran layaknya seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Ceritanya akan berbeda jika ternyata wanita yang dipandangi itu juga membalas dengan pandangan yang sama. Kamera lantas bergerak ke samping kemudian kembali ke titik semula. Wanita tersebut menghilang. “Kemana wanita cantik itu ? Ah, sayang belum jodoh,” mungkin inilah apa yang saya katakan jika shopgirl tersebut adalah saya.
Tapi ternyata jodoh. Wanita bernama Carol Aird (Cate Blanchett) itu muncul di hadapan Therese Belivet (Rooney Mara), si shopgirl itu. Carol rupanya sedang mencari hadiah natal (boneka) untuk putri semata wayangnya. Ternyata stok boneka habis. Therese menawarkan boneka yang lain. “Apa boneka favoritmu ketika empat tahun ?”, tanya Carol pada Theresse. “Aku ? Aku tidak.... tidak banyak, jujur saja”, jawab Theresse. Selang berapa lama, Carol bertanya lagi, “Lalu apa yang kau inginkan di usia itu ?” Dijawab oleh Theresse, “Sebuah mainan kereta.” 

Percakapan tersebut merupakan kunci yang diselipkan Phyllis Nagi dalam mengungkapkan identitas asli karakternya. Meski pun tanpa penjelasan secara rinci terkait latar belakangnya, keduanya sudah bisa ditebak. So, apa yang terjadi ketika dua orang saling memandang satu sama lain dengan tatapan yang dalam ? Keduanya saling memiliki ketertarikan. Apa yang terjadi jika keduanya memiliki gender yang sama ? Tetap saja keduanya saling tertarik. Nah, sekarang Anda telah mendapatkan drama LGBT di depan mata.

Carol Aird adalah seorang sosialita. Cara berpakaian, berbicara, dan setiap inchi dalam penampilannya sanggup menggambarkan hal itu. Carol sendiri tengah menghadapi proses perceraian dan perebutan hak asuk anaknya dengan mantan suami, Harge (Kyle Chandler). Di pihak lain ada Therese Belivet, gadis muda yang cantik dan sederhana. Rambut pendek dan mata lebarnya banyak mengingatkan kita pada sosok Audrey Hepburn yang manis itu. Mungkin jika “Carol” dibuat di awal 50-an dengan jarak berdekatan dengan novel, Hepburn sudah pasti menggantikan Mara. Usia Hepburn di awal 50-an bahkan jauh lebih muda dari Mara saat di “Carol” ini. Sudah saya cek di wikipedia.

Therese adalah tipikal gadis yang mudah bergaul. Ia gampang membuat siapa pun kepincut padanya. Diajak ngobrol soal apa pun bisa. Ia memiliki ketertarikan dengan dunia fotografi. Pada dasarnya, Theresse sudah memiliki kekasih, Richard Semso (Jack Lacy) namanya. Namun saya yakin, hubungan tersebut hanya status biasa bagi Theresse. Bersama Richard, Theresse banyak berkumpul dengan teman-temannya yang banyak didominasi pria. Perlu dicatat lagi, bagian ini juga merupakan kunci dalam membuka karakternya. Subtle, perlu kejelian untuk menangkapnya.

Selepas pertemuan awal dalam department store, Carol meninggalkan sarung tangannya di depan Theresse. Saya ragu hal itu bentuk ketidaksengajaan. Keraguan yang sama ketika Cinderella menjatuhkan sepatu kacanya agar dipungut pangeran. “Ayo kejar aku !”, mungkin seperti itulah hati Carol berkata. Hubungan keduanya lantas menjadi dekat. Diajaklah Therese ke rumah Carol. Pertemuan Therese dengan suami Harge (mantan suami Carol yang sedang berkunjung), tidak terhindarkan. “Bagaimana kau bisa mengenal istriku?”, tanya Harge pada Therese.

“Carol” disutradarai oleh Todd Haynes. Bersama dengan Phyllis Nagy, ia menceritakan kisah percintaan yang tidak biasa dengan begitu halusnya. Romansanya tidak tercipta dari desahan yang menggebu dengan vulgar, melainkan lewat tutur kata hingga gesture yang menyiratkan—senyumannya, pandangan matanya. Banyak kunci disebar di sepanjang film menciptakan teka-teki tentang “siapa dia,” “apa hubungan mereka,” sampai “apa rencana mereka selanjutnya ?”. Semua terangkum dalam satu romansa seperti dalam hidup ini yang kadang ada manisnya, kadang pula ada pahitnya.  

Share this article :
+
Previous
Next Post »