Sejak kali pertama membaca sinopsisnya, ada perasaan ngeri yang tervisualisasi dalam pikiran, disusul rasa ingin tahu yang begitu besar untuk menonton film yang berjudul asli “Ich Seh, Ich Seh” ini. Dari luarnya saja, film ini tampak sebagai arthousebertempo lambat yang merupakan tipikal film kegemaran saya. Dengan suntikan horror-thriller ke dalamnya, “Goodnight Mommy” sudah bagaikan ‘pembunuh’ yang di tahap pertamanya merayu dengan lembut, menarik secara perlahan, dan menusuk sadis di bagian akhir. Rayuan lembut namun mematikan itu bahkan sudah muncul sedari awal ketika sebuah vintage footage Jerman berisikan paduan suara menyanyikan “Brahm’s Lullaby –Good Evening, Good Night”. Kontennya sederhana memang, tapi kesan creepy itu begitu kuat terpancar dari footage yang sudah dipenuhi bercak hitam itu.
Narasi lantas terlempar pada dua anak laki-laki yang tengah bermain petak umpet di ladang jagung. Mereka adalah Elias dan Lukas, diperankan oleh si kembar sesuai dengan nama aslinya, Elias dan Lukas Schwarz. Tidak berapa lama, sang ibu (Susanne Wuest) datang dalam keadaan seluruh wajahnya terbungkus perban. Namun tidak ada dialog yang menjelaskan detil peristiwa apa yang tengah menimpa sang ibu. Aktivitas ibu dan anak kembar ini kembali seperti semula, berkumpul dan bermain bersama. Di luar dugaan, Elias dan Lukas merasa gelagat yang tidak biasa pada sang ibu pasca operasi wajah. Mereka pun meyakini bila wanita tersebut bukanlah ibu kandungnya.
Bila dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, “Goodnight Mommy” mungkin saja akan terdengar seperti judul sinetron. “Mamaku bukan Mamaku”—mungkin begitu yang tertulis. Terlepas dari judul versi saya yang konyol itu, “Goodnight Mommy” menyimpan konsep cerita dengan aura sangat mengerikan di dasarnya. Tidak perlu repot-repot dengan wujud penampakan macam monster, cukup hanya dengan menghadirkan karakter seorang ibu yang diperban wajahnya. Ada misteri dan tanda tanya besar terselip di dalamnya, “benarkah dia seseorang yang selama ini kita kenal ?”. Membayangkan ada impostoryang meniru penampilan seseorang yang kita kenal dan lantas mendekati kita, patut diakui bila jebakan sederhana dari sutradara Veronika Franz dan Severin Fiala (penulis naskah juga) ini mampu membuat ‘mati kutu’. Efek tidak nyaman itu muncul dari perwujudan sang ibu dengan perbannya, yang sekilas terlihat seperti badut menyeringai dalam cahaya remang. Mengerikan. Itulah kesan pertama saya ketika ‘dicubit’ dengan gambaran seperti itu.
Dengan pelannya, Veronika Franz dan Severin Fiala menceritakan seputar kehidupan sehari-hari Elias dan Lukas yang nampak normal-normal saja. Begitu pula yang terjadi pada sang ibu. Cerita pun bergulir dan mulai memunculkan konflik awal ketika sang ibu nampak mendiskriminasi antara putra kembarnya ini. Kerap kali sang ibu memarahi bahkan memukuli Elias, di saat ia menganggap ketiadaan eksistensi dari Lukas. Tidak percaya sang ibu bisa berbuat demikian, Elias dan Lukas pun mulai meragukan sosok tersebut adalah ibu kandungnya. Berbagai cara pun diperbuat untuk ‘mengembalikan’ sang ibu yang terampas. Sang sutradara pun memilih cara yang cukup ekstrim lewat tangan Elias dan Lukas dalam menuntut hak mereka tersebut. Act pertama dan kedua yang kental dengan psychological thriller pun lantas saja berubah menjadi torture meski masih dalam tingkatan yang bisa diterima. Namun rasa ngilu luar biasa yang ditimbulkan memanglah tidak bisa ditolak.
Sedari awal, interaksi sang ibu pada Elias dan Lukas memang meninggalkan banyak misteri yang tersebar di sepanjang film. Misteri itupun pada akhirnya terkumpul menjadi sebuah twist—dan saya yakinkan bila ini bukanlah sebuah spoiler. Memang bukan suatu hal yang baru pada twist yang dibawakan oleh duo Franz dan Fiala, tapi tidak lantas pula berakhir menjadi hambar. Efek keterkejutan sudah pasti ada, sembari otak mencoba memutar balik tiap adegan yang telah lewat. Senyum kecil pun terlukis dalam bibir di saat bersamaan kepala ikut mengangguk tanda bahwa twist model lama ini masih bisa diterima. Kemudian, sebab musabab sang ibu hingga diperban memang tidak dijelaskan secara gamblang dalam dialog, tapi mudah untuk ditangkap atas apa yang tengah menimpa keluarga ini. Pastinya ada keterkaitan akan kesalahan di masa lampau yang lalu merasuk pada psikologi salah satu karakternya. Rasa sakit yang telah bertumpuk, lalu berkulminasi pada bagian menjelang akhir yang cukup gila itu.
Keseluruhan, saya sedikit menyoroti segi dramanya yang diisi dengan relasi antara ibu dan anak serta seseorang dengan saudara kandungnya. Relasi itu bersifat rasa saling membutuhkan dan menopang satu sama lainnya. Maka bila salah satunya terjatuh, akibatnya pijakan itu menjadi lemah dan dapat dipastikan akan runtuh. Hubungan itulah yang tercermin dalam “Goodnight Mommy” yang dipoles oleh Franz dan Fiala dengan sentuhan kelam dan tragic. Rupanya, hal itu begitu sinkron dengan footagedi awal film yang mengisyaratkan akan ‘tanda perpisahan’ pada tiap lirik yang dikandungnya. Dalam perjalanan menuju perpisahan itu memang dipenuhi kesakitan dan tragis, tapi sudah terbayar lewat ujungnya yang berakhir manis. Dengan mengkombinasikan antara drama dan thriller-nya, saya lihat “Goodnight Mommy” memang sukses menjadi film yang bagus. Namun untuk melangkah dalam sebuah perhelatan penghargaan yang prestisius, saya merasa “Goodnight Mommy” terlalu overrated.
7 / 10