sinopsis dan review film - film terbaik

Hævnen

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Susanne Bier
Pemain: William Jøhnk Nielsen, Markus Rygaard, Mikael Persbrandt, Trine Dyrholm, Ulrich Thomsen, Kim Bodnia, Wil Johnson, Eddie Kimani, Emily Mglaya, Gabriel Muli, June Waweru, Mary Hounu Moat, Synah Berchet, Elsebeth Steentoft, Satu Helena Mikkelinen, Camilla Gottlieb, Birthe Neumann, Paw Henriksen, Jesper Lohmann, Bodil Jørgensen, Lars Kaalund, Lars Bom

Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: In a Better World

I

Saya rasa saya sangat tidak keberatan kalau film dari Denmark ini merebut patung Best Foreign Language Film dari tangan Biutiful. Walau pada dasarnya harapan saya terbelah dua, antara Dogtooth (Yunani) dan film ini.

Film ini disutradarai oleh Susanne Bier, yang sebelumnya pernah dinominasikan di kategori yang sama melalui After the Wedding. Karya Susanne Bier lain yang patut diingat mungkin Brødre yang kemudian diremake oleh Hollywood menjadi Brothers (dibintangi oleh Tobey Maguire, Jake Gyllenhaal, dan Natalie Portman). Atau Open Hearts yang soundtracknya diisi oleh Anggun C. Sasmi. Bagi yang sudah cukup akrab dengan film-film Susanne Bier mungkin bakal mendapati kalau In a Better World memang berformula “Bier banget.” Serupa dengan After the Wedding (dan kebanyakan film Bier yang lain), In a Better World juga berformat melodrama. Dan serupa dengan After the Wedding, Bier memang tidak pernah lupa menyuntikkan bau-bau kemanusiaan dan krisis moral. Atau kalau mau sederhananya, film Susanne Bier cenderung lebih tradisionil dari segi cerita, tema, akting, sampai editing dan spesial efeknya. Bedanya, ada level yang tajam dan mendalam pada film Bier kali ini yang sangat berhasil menggerakan sensitivitas saya sebagai penonton.

II

Kedua tokoh utama, Christian (William Jøhnk Nielsen) dan Elias (Markus Rygaard), adalah dua bocah bersahabat yang digambarkan sangat nyata, dan sangat reflektif sebagai gambaran bocah-bocah hasil kerusakan nilai-nilai di dalam rumah tangga.

Elias adalah bocah korban ejekan dan gangguan teman-temannya di sekolah (salah satunya dia diejek karena gigi besarnya yang membuat mulutnya mirip mulut tikus). Elias harus dihadapkan pada proses perceraian kedua orang tuanya yangs sedang berlangsung. Elias sangat menyayangi sosok bapaknya (Mikael Persbrandt), sayangnya tidak setiap hari dia bisa dirangkul karena si di saat-saat tertentu harus ditugaskan di sebuah kamp kesehatan di Afrika. Di saat bapaknya bertugas, Elias harus tinggal bersama si ibu yang sayangnya tidak memiliki hubungan baik dengan Elias, segigih apapun si ibu berusaha mendapatkan perhatian. Kemungkinannya karena Elias menganggap si ibu lah yang paling bertanggung jawab atas proses perceraian tersebut.

Christian malah kebalikan dari Elias. Christian justru tidak memiliki hubungan baik dengan bapaknya (Ulrich Thomsen). Christian justru sangat menyayangi ibunya yang baru saja meninggal karena kanker. Christian merasa sangat kehilangan si ibu. Dan Christian merasa bapaknya lah yang paling bersalah atas kematian ibu.

Keduanya dipertemukan di sekolah sebagai teman ketika Christian pindah ke Denmark untuk tinggal bersama neneknya. Christian memendang amarah (atau dendam). Elias merupakan korban bulan-bulanan. Dengan membela Eilas, Christian menemukan media pelampiasan. Dan karena dibela Christian, Elias menemukan seorang sahabat.

Sebagai sahabat keduanya punya nilai-nilai persahabatan. Saya rasa, dalam setiap persahabatan anak-anak pasti selau ada nilai-nilai persahabatan. Dan saya yakin sebagian besar anak-anak menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan. Permasaahannya, tidak sedikit juga anak-anak yang setuju untuk lebih menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan ketimbang etika dan niai-nilai moral. Karena memang itu lah yang cenderung dibangun dalam lingkungan anak-anak, nilai-nilai solidaritas, ketimbang poin-poin mana yang salah dan mana yang benar. Itu lah yang dilakukan Christian dan Elias.

Pisau yang diberikan Christian pada Elias seusai mengancam berandal sekolahan di toilet adalah wujud nilai-nilai persahabatan keduanya. Ketika diinterogasi oleh polisi soal pisau tersebut, keduanya pun kompak melindungi nilai-nilai persahabatan mereka. Sekalipun tindakan tersebut jelas salah menurut kacamata etika dan moral orang dewasa. Dan ketika orang tua masing-masing murka mengetahui keberadaan pisau tersebut, Christian marah karena nilai-nilai solidaritas mereka terasa dikhianati.

http://2.bp.blogspot.com/-Z5NK6halYt0/TXH2Okv8uYI/AAAAAAAACPM/kwp2N1507Ds/s1600/Kinema.jpg

III

Solidaritas versus nilai-nilai moral rasanya memang masalah yang cukup umum bagi anak-anak seumuran Christian dan Elias. Untuk urusan moral, Christian dan Elias memang tak lepas dari didikan orang tua mereka. Tidak terlalu dijelaskan bagaimana Christian mendapatkan pendidikan tentang yang bendar dan yang salah dari kedua orangtuanya, tapi bisa dilihat sekilas melalui kerenggangan hubungan dengan si bapak.

Namun adegan yang sangat jelas menunjukkan pengaruh pendidikan moral orang tua ialah ketika bapaknya Elias mengajak Elias, adiknya, dan Christian menemui pria yang sudah menampar pipinya. Di depan ketiga anak-anak itu, bapaknya Elias ingin menanamkan pelajaran moral ala Mahatma Gandhi. Elias mempersilahkan pria tersebut memukulnya tanpa membalas apa-apa untuk menunjukkan bahwa pria tersebut bodoh dan sudah kalah secara idealis (walaupun tidak secara fisik).

Tapi anak-anak tetaplah anak-anak. Tidak segampang itu mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk pada anak-anak. Sudah jelas, kan? Berkali-kali orang tua bilang mencuri itu buruk, masih banyak juga anak-anak yang tidak mengindahkan. Itu contoh gampangnya. Christian dan Elias malah menanggapi perbuatan bapak Elias itu ke arah yang anarkis. Keduanya malah berniat meledakkan mobil pria yang menampar sebagai bentuk balas dendam.

Ketika menghadapi permasalahan, misalnya, anak-anak lelaki seperti Elias dan Christian justru lebih mengedepankan maskulinitas (di mana harga diri merupakan bagian dari kejantanan yang tidak boleh diinjak-injak). Ketika Elias mendapat gangguan dari teman-teman sekolah misalnya, dia menolak berbicara dengan orang tua. Atau ketika Christian terluka akibat gangguan anak berandal, dia menolak membicarakan dengan bapaknya dan lebih memilih menyelesaikan dengan cara sendiri ketimbang mengadu. Lebih jantan.

Film ini secara paralel juga menceritakan kejadian-kejadian yang dialami bapaknya Elias ketika bertugas di Afrika. Ada sebuah subplot di mana bapaknya Elias mendapatkan pasien-pasien korban seorang teroris berjulukan “Big Man.” Bapaknya Elias dihadapkan pada dilema moral ketika mendapati “Big Man” sebagai pasiennya sementara penduduk yang menjadi korban menatap dengan wajah murka. Adegan tersebut menjadi cerminan tersendiri bagi bapaknya Elias – juga menjadi juktaposisi terhadap tindakan yang dilakukan Elias dan Christian. Yang paling penting dari segmen Afrika ini ialah pertanyaan mana yang lebih penting: kebutuhan emosional keluarga atau kebutuhan moral sejuta umat manusia? Mana kira-kira yang lebih penting untuk didahulukan?

Selain posisi bapak, hilangnya (atau minimnya) peran ibu dalam rumah tangga juga diangkat menjadi isu di film ini. Kehilangan sosok ibu jelas menjadi salah satu penyebab utama sikap buruk Christian. Ditambah pula dengan kebenciannya pada sang bapak yang dianggapnya bertanggung jawab. Sementara Elias justru tidak mau mendengarkan si ibu karena merasa ibunya yang bersalah atas perceraian.

Saya rasa yang jadi pertanyaannya adalah: Apakah para orang tua di film ini sudah merasa cukup memberi suapan-suapan moral pada anak-anak mereka tanpa benar-benar memerhatikan (atau sekedar mengetahui) kebutuhan emosional anak-anaknya? Apalagi anak-anak laki-laki cenderung sungkan membicarakan hal tersebut.

IV

Yang membuat persahabatan antara Christian dan Elias ini spesial adalah seberapa dalam dan jujurnya Susanne Bier menampilkan sisi emosional keduanya. Hanya dengan mengintip mata kedua aktor tersebut, saya sebagai penonton sudah cukup merasakan alasan emosiona mengapa keduanya menjadi teroris kecil. Tidak sering lo ada pemeran-pemeran anak-anak yang mampu memberikan kedalaman emosional pada tokoh mereka seperti yang ada di film ini (apalagi dengan nada yang jauh di atas usia mereka). Malah, salah satu keistimewaan film ini karena Susanne Bier lebih menitikberatkan pada aksi dan pikiran para tokoh anak-anak ketimbang tokoh dewasa. Dari segi tematik film ini mengingatkan pada The Return dari Rusia yang juga bercerita tentang anak-anak, moral, dan orang tua.

Tapi bukan berarti Susanne Biar menelantarkan para tokoh orang tua. Para pemeran orang tua juga tidak kalah cemerlang dalam melakukan tugasnya, terutama Mikael Persbrandt sebagai bapaknya Elias, pria yang dihadapkan pada dilema antara idealisme moralnya dan anaknya sendiri. Film ini justru berhasil karena kepiawaian Susanne Bier dalam membangun detil hubungan tokoh-tokohnya, baik itu hubungan para orang tua, para anak-anak, atau anak-anak dengan orang tua.

Film asal Denmark ini terbilang sederhana, baik dari segi cerita ataupun pengemasannya. Sekalipun semuanya itu dihadirkan dengan cara yang tradisionil, justru keberhasilan dalam menegaskan judulnya yang membuat melodrama ini pantas berjaya. Melalui judulnya, In a Better World seakan-akan mencoba meneriakkan sebuah harapan naif: Agar para anak-anak kelak bisa tumbuh di dunia yang lebih baik.

http://1.bp.blogspot.com/-o-frsfqjRoA/TWvFBpbN7BI/AAAAAAAACMU/zytjhugi5Ug/s1600/A.bmp
Share this article :
+
Previous
Next Post »